NEWS

Penolakan Makin Nyata Seiring Percepatan Pemerintah Bangun PLTN

PLTN dinilai bukan pilihan tepat untuk Indonesia.

Penolakan Makin Nyata Seiring Percepatan Pemerintah Bangun PLTNIlustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir/Pixabay
30 April 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Arus penolakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) semakin deras seiring langkah pemerintah mempercepat pembangunan PLTN pertama pada 2030 melalui Dewan Energi Nasional (DEN).

Guru Besar Universitas Kristen Indonesia (UKI) sekaligus pengamat energi, Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D, mengatakan bahwa PLTN tidak cocok untuk dikembangkan di Indonesia. “PLTN yang akan dibangun di Indonesia sangat rentan terhadap risiko gempa bumi, letusan gunung, banjir besar maupun gelombang tsunami yang sering kita alami,” katanya kepada Fortune Indonesia, Selasa (30/4).

Menurutnya, pembanguan PLTN akan berisiko merugikan penduduk Indonesia maupun negara-negara tetangga, terlebih jika terjadi kecelakaan sebagaimana dialami oleh PLTN Chernobyl, Ukraina. 

Selain itu, pemilihan PLTN dinilai kurang tepat karena Indonesia masih memiliki banyak opsi lain untuk pengembangan energi baru terbarukan dan ramah lingkungan, seperti yang bisa didapat dari sinar matahari, gelombang laut, atau arus air. Oleh sebab itu, hal ini menurutnya harus jadi pertimbangan utama.

Meski belum dipastikan di mana PLTN pertama akan dibangun, namun Pulau Jawa  menjadi pilihan, karena dihuni oleh mayoritas pelanggan listrik di Indonesia. "Padahal, Pulau Jawa memiliki tingkat risiko bencana alam, mulai dari bencana geologi, vulkanologi, hidrometeorologi, kekeringan, hingga kebakaran hutan,” katanya.

Kenginan keras pemerintah membangun PLTN yang berisiko tinggi juga merupakan hal yang janggal dan memalukan. Apalagi, bahan baku PLTN masih harus diimpor dan manajemen pengolahan limbah nuklir akan memakan biaya yang besar dan waktu yang relatif cukup lama.

Aksi penolakan

Aksi penolakan di lapangan juga terjadi di Kalimantan Barat. Aksi tersebut dilakukan oleh Walhi yang menyuarakan agar Kalimantan Barat dijauhkan dari ancaman bencana radiasi nuklir akibat pembangunan PLTN.

Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, meminta pemerintah untuk menghentikan rencana pembangunan PLTN. “Anggapan Kalimantan aman dari bencana ini tentu saja tidak benar. Kalimantan memiliki sumber gempa, seperti Sesar Meratus, Sesar Mangkalihat, Sesar Tarakan, Sesar Sampurna, dan Sesar Paternoster,” katanya seperti dikutip Mongabay, Senin (29/4).

Alih-alih menjalankan transisi energi, pemerintah justru dinilai tidak mampu memaksimalkan potensi energi terbarukan yang berlimpah. Terlebih, PLTN, bukan energi terbarukan terlebih berisiko menyengsarakan masyarakat dan alam semesta. “Sejumlah tragedi kemanusiaan dan lingkungan itu menegaskan teknologi ciptaan manusia seperti PLTN tidak sepenuhnya dapat dikontrol dan dikendalikan manusia,” ujarnya.

Semakin gencar

DEN telah memasukkan energi nuklir dalam bauran energi nasional sebagai bagian dari upaya mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060. Hal ini tercantum dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang ditargetkan diundangkan tahun ini dan menargetkan beroperasinya PLTN pertama di Indonesia pada tahun 2032.

Sekretaris Jenderal DEN, Djoko Siswanto, mengatakan bahwa pihaknya baru berkolaborasi dengan PT ThorCon Power Indonesia (TPI) memulai pembentukan awal proposal pembangunan PLTN. “Dalam artian mendukung secara teknis dan administratif,” katanya, Selasa (30/4).

Meski begitu, Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Prof Dr Eniya Listiani, berpendapat bahwa listrik yang dihasilkan dari PLTN ini harus langsung masuk ke grid.

“Nuklir itu sudah sangat green, sehingga first in dan first out untuk energi green ini masuk ke grid. Keuntungan dari PLTN ini dapat menghasilkan energi dengan jumlah besar dan relatif stabil, serta tidak menghasilkan gas emisi gas rumah kaca selama operasi normal,” katanya.

Related Topics