88% Perusahaan Global Nilai Keberlanjutan Dorong Profitabilitas

Jakarta, FORTUNE - Sebanyak 88 persen perusahaan global menilai keberlanjutan sebagai peluang strategis untuk menciptakan nilai bagi bisnis mereka. Temuan itu terungkap dalam survei terbaru Morgan Stanley bertajuk “Sustainable Signals: Corporates 2025” yang melibatkan lebih dari 330 eksekutif perusahaan di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Pasifik dengan pendapatan di atas US$100 juta.
Dalam survei tersebut, 53 persen responden menyatakan keberlanjutan sebagai instrumen utama penciptaan nilai, sedangkan 35 persen melihatnya sebagai kombinasi antara penciptaan nilai dan pengelolaan risiko. Peningkatan terbesar terjadi di Amerika Utara dan Eropa, masing-masing naik menjadi 89 persen dan 94 persen dari tahun sebelumnya.
Manfaat keberlanjutan yang paling banyak disebut dalam lima tahun ke depan adalah peningkatan profitabilitas (25 persen), pertumbuhan pendapatan (19 persen), pengurangan biaya modal, serta peningkatan visibilitas arus kas (masing-masing 13 persen).
Tak hanya itu, 83 persen eksekutif mengaku kini mampu mengukur pengembalian investasi (ROI) dari aktivitas keberlanjutan secara setara dengan investasi non-keberlanjutan. Hal ini memudahkan perusahaan membandingkan prioritas dalam alokasi modal mereka.
Tingkat kepercayaan atas strategi keberlanjutan juga meningkat. Sebanyak 65 persen eksekutif menyebut strategi keberlanjutan perusahaan mereka telah memenuhi atau melampaui ekspektasi, naik dari 59 persen tahun lalu. Peningkatan terjadi di semua wilayah, termasuk Asia Pasifik yang naik dari 53 persen menjadi 60 persen.
Investasi jadi tantangan
Meski demikian, tantangan tetap ada. Tingginya kebutuhan investasi disebut sebagai hambatan utama oleh 24 persen responden, disusul ketidakpastian politik sebesar 17 persen. Sementara itu, kemajuan teknologi (33 persen), kondisi ekonomi yang kondusif (32 persen), dan peningkatan permintaan pelanggan (28 persen) menjadi faktor pendukung utama keberhasilan strategi keberlanjutan.
Kesadaran akan risiko iklim juga menguat. Sebanyak 57 persen perusahaan melaporkan mengalami peristiwa terkait iklim dalam 12 bulan terakhir, seperti gelombang panas ekstrem (55 persen), cuaca ekstrem (53 persen), dan kebakaran hutan atau asap (36 persen). Di Asia Pasifik, angkanya mencapai 73 persen.
Dampak yang dirasakan antara lain peningkatan biaya operasional (54 persen), gangguan pada tenaga kerja (40 persen), serta kehilangan pendapatan akibat gangguan bisnis atau rantai pasok (39 persen). Sebanyak 60 persen responden memperkirakan risiko fisik akibat iklim akan berdampak negatif dalam lima tahun ke depan, dan lebih dari dua pertiga juga memperkirakan adanya dampak dari risiko transisi iklim.Kendati demikian, lebih dari 80 persen perusahaan merasa cukup atau sangat siap menghadapi ancaman terkait iklim.
Jessica Alsford, Chief Sustainability Officer dan Chair of the Institute for Sustainable Investing di Morgan Stanley mengatakan, “Data ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tetap menjadi pusat penciptaan nilai jangka panjang. Perusahaan di seluruh dunia melaporkan adanya keselarasan antara strategi korporat dan prioritas keberlanjutan saat mereka berupaya membangun bisnis yang tangguh dan siap menghadapi masa depan.”