Jakarta, FORTUNE - Menyikapi kenaikan Harga Batu bara Acuan (HBA) pada September ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil Rakhman, mengatakan industri tekstil terdampak cukup signifikan. Kenaikan ini tentu akan mempengaruhi proses produksi yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama.
“Harga dunia naik, kemudian parahnya adalah produsen batu bara kita lebih ke ekspor daripada pemenuhan kebutuhan yang lokal. Jadi, kalo yang lokal, selain mahal juga langka nih,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, pada Rabu, (8/9).
Rizal mengungkapkan dalam situasi pasar yang normal, mungkin industri tekstil bisa menyesuaikan harga produknya. “Tapi, masalahnya pasar juga sedang lesu. Jadi, kita juga enggak mungkin memilih opsi menaikan harga barang atau produk kita,” katanya.
Solusi yang dapat diupayakan
Terkait solusi yang diupayakan oleh para pelaku industri tekstil, Rizal menyampaikan, mereka maksimal melakukan rasionalisasi di fasilitas produksi atau utilisasinya. Industri tekstil membutuhkan batu bara di sektor tengah yang erat dengan proses pencelupan atau pewarnaan, penyempurnaan, dan pencetakan.
Melihat tren harga batu bara yang terus naik, sebenarnya salah satu solusi terbaik untuk diupayakan adalah mengalihkan bahan bakar dari batu bara menuju gas. Namun, menurut Rizal, opsi ini tidak mudah dan cukup kompleks untuk dilakukan.
“Itu butuh waktu, investasi mesin, investasi teknologi. Sekarang switching yang paling memungkinkan adalah ke gas, sedangkan kendala gas adalah pipanisasi belum merata. Nggak semua pabrik tekstil kena jalur pipa gas. Wah, kalau begini bisa panjang lagi ceritanya,” ujar Rizal.
Harapan pada peran pemerintah
Menurut Rizal, pemerintah perlu mengatur kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) batu bara. Hal ini perlu ditingkatkan agar pasokan lebih terjamin untuk batu bara lokal dan industri lokal.
“Kedua, intervensi soal harga, karena kalau ikut harga pasar dunia, itu fluktuatif dan jarang turunnya, sedangkan naiknya sering,” ujar Rizal.
Melanjutkan tentang opsi switching ke bahan bakar gas alam, Rizal berpendapat, pemerintah perlu lebih fokus ke pembangunan infrastrukturnya terlebih dahulu. “Jangka panjangnya, kalau pemerintah mau mengubah ketergantungan batu bara ke gas, maka perlu dipersiapkan infrastrukturnya. Jangan kebijakannya dulu, tapi infrastrukturnya nyusul, repot kalau begitu,” tuturnya.
Peran pemerintah dan naiknya HBA pada bulan September
Melatarbelakangi keluhan sektor industri tekstil yang disampaikan Rizal, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menetapkan persentase penjualan batu bara untuk permintaan dalam negeri hingga 25 persen dari rencana produksi tahunan. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri.
Adapun kebutuhan ini diperuntukkan untuk kepentingan umum, penyediaan tenaga listrik, serta bahan baku atau bahan bakar industri.
Seperti diketahui, HBA pada bulan September memang meningkat US$19,04 per ton dan membuat harga batu bara mencapai US$150,03 setiap per ton. Sebelumnya, HBA bulan Agustus berada di level US$130,99 per ton.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi, mengatakan kenaikan disebabkan permintaan Tiongkok yang tinggi dan melebihi kemampuan produksi domestiknya. Selain itu permintaan batu bara dari Korea Selatan serta kawasan Eropa pun meningkat seiring harga gas alam yang tinggi.
"Ini adalah angka yang cukup fenomenal dalam dekade terakhir,” kata Agung dalam rilis Kementerian ESDM, Senin (6/9).
Walau sempat landai pada periode Februari-April 2021, namun sejak Mei hingga September terus memperlihatkan kenaikan beruntun. Sempat menyentuh US$115,35 per ton pada Juli 2021, kini HBA naik secara konsisten dan baru mencatatkan rekor tertinggi pada September 2021.