Jakarta, FORTUNE – Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan, akan melakukan harmonisasi revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50/2020 Tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE). Menurutnya, ada tiga hal utama yang terkandung di dalam aturan baru e-commerce dalam aturan tersebut.
Pertama, masalah ketetapan harga minimum untuk menjual barang impor yang dipatok sebesar US$100 atau sekitar Rp1,5 juta untuk melindungi para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). "Barang yang dijual itu juga ada harganya, masa kecap satu harus impor, yang benar saja, sambel, UMKM kita kan bisa bikin sambal, misalnya. Maka saya usulkan harganya US$100," ujar Mendag di kantornya, Selasa (1/8).
Kedua, barang impor yang dipasarkan di Indonesia melalui marketplace dan platform digital lain, harus membayar pajak yang sama dengan UMKM lokal. Selain itu, proses perizinan pun juga tidak boleh dibedakan.
Hal terakhir yang jadi perhatian adalah larangan bagi platform e-commerce atau marketplace untuk menjual produk yang merek produksi sendiri. Hal ini juga berlaku untuk membawa barang langsung dari negara afiliasinya. "Platform digital tidak boleh berlaku sebagai produsen. Tak boleh dong misalnya, TikTok jualan baju mereka. Kami mengusulkan, platform nggak boleh jadi produsen," katanya Zulkifli.
Lintas instansi dan lembaga
Mendag menyebutkan bahwa harmonisasi Permendag No.50/2020 diperlukan karena perdagangan online tidak hanya melibatkan satu instansi, namun banyak lembaga, seperti soal lisensi dengan Kementerian Koperasi dan UKM, masalah pajak dengan Kementerian Keuangan, dan peraturan dengan Kementerian Hukum dan HAM.
“Justru kita dari awal ambil inisiatif tapi kan pembahasannya antar kementerian, itu lama kalau kita sudah dari awal, Tapi ini sudah selesai, tinggal diharmonisasi Kemenkumham,” kata Mendag.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, juga mendorong revisi Permendag 50/2020 untuk melindungi produk UMKM di pasar digital. Menurutnya, perkembangan tekknologi dengan cepat mengubah pola belanja, misalnya dari e-commerce ke social commerce seperti TikTok, dan mengakibatkan produk UMKM lokal harus bersaing dengan barang dengan harga yang sangat murah.
Penolakan
Harmonisasi revisi Permendag 50/2020 menuai berbagai respons, salah satunya dari Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) yang menolak pelarangan importir menjual barang dengan nilai kurang dari US$100.
Ketua APLE, Sonny Harsono, mengatakan bahwa kebijakan ini tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan. Menurutnya, penghentian impor barang seperti aksesoris ponsel atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, malah bisa menimbulkan risiko kegiatan impor ilegal.
“Secara prinsip ekonomi, jika permintaan masih ada, penawaran pun akan berlangsung. Kondisi ini sebenarnya sudah tergambar pada e-commerce lokal yang menunjukkan sebagian besar barang impor ditawarkan oleh penjual non-importir,” ujar Sonny dalam keterangan resmi, Rabu (2/8).
Menurutnya, platform yang memfasilitasi transaksi cross-border semacam itu juga banyak ditemukan di berbagai negara, tak cuma Indonesia. Tapi, di negara-negara lain berlaku pula kebijakan pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah harga tertentu. “Penutupan keran transaksi impor lintas negara tersebut justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM apabila platform belanja menghentikan semua transaksi cross-border ke Indonesia," kata Sonny.