Jakarta, FORTUNE - Sejak pertengahan 2020, kelangkaan kontainer ekspor terjadi dan menyebabkan tarif logistik naik. Hal ini ikut berpengaruh pada naiknya harga jual komoditas ekspor-impor. Harga yang tinggi pun berpotensi melemahkan daya saing produk Indonesia di pasar dunia. Efek bola salju karena pandemi Covid-19 dianggap menjadi penyebab kelangkaan ini.
Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto, mengatakan kondisi tersebut terjadi akibat permintaan yang lebih tinggi daripada pasokan. "Sebenarnya bukan masalah kelangkaan kontainer saja, tapi juga kurangnya space kapal dan tariff/freight yang naik akibat kekurangan space kapal dan kontainer tadi," ujarnya kepada Fortune Indonesia, Rabu (1/9).
Pandemi sebagai penyebab utama
Carmelita menerangkan, kelangkaan kontainer dimulai secara bertahap sejak Tiongkok mulai didera pandemi Covid-19 pada awal 2020. Laden kontainer yang bergerak masuk ke Tiongkok pun utilisasinya mulai melambat karena volume ekspor dari yang menurun akibat karantina wilayah atau lockdown.
“Jumlah kontainer pun terus menumpuk di Tiongkok, namun demand kargo impor masih tetap tinggi, secara bertahap mulai berpengaruh terhadap pasokan kontainer di negara-negara lainnya,” kata Carmelita.
Dalam hematnya, kondisi ini menyebabkan banyak perusahaan pelayaran internasional mengurangi tonnage (kapal) sebagai langkah antisipasi atas pandemi yang menyebabkan banyaknya keterlambatan pada sejumlah pelabuhan utama dunia. “International shipping melakukan blank sailings dan mengurangi armada,” katanya.
Menurut Carmelita, ketika ekonomi Tiongkok mulai membaik, maka ekspor-impor dari dan ke Amerika Serikat pun kembali ramai. Namun, sebelumnya telah terjadi pengurangan ruang kapal.
“Hal ini memperburuk situasi perdagangan global, di mana bukan hanya kelangkaan kontainer, namun juga mulai terjadi kelangkaan space kapal. Kelangkaan space tonnage ini akhirnya mendorong meningkatnya biaya charter kapal dan tariff/freight pun terus bergerak naik,” ujar Carmelita.
Dampak yang terjadi di Indonesia
Dampak terbesar kenaikan freight, kelangkaan space dan kontainer terjadi pada kegiatan ekspor-impor di Indonesia. Hal ini terutama dirasakan oleh produk ekspor yang membutuhkan kontainer ukuran 40” High Cube, seperti mebel, garmen, maupun kerajinan tangan. Sedangkan, impornya menggunakan ukuran 20”. “Sehingga terjadi ketimpangan utilisasi,” kata Carmelita.
Ia mengungkapkan bahwa negara-negara lain di dunia, terutama ASEAN, juga mengalami kondisi sulit ini. “Adapun kenaikan freight kapal kontainer rata-rata mencapai 300-500 persen," ujarnya.
Carmelita menyampaikan, para pelaku UMKM yang melakukan ekspor adalah pihak yang paling merasakan beratnya situasi ini. Kenaikan freight dinilai tidak berimbang dengan harga jual. Namun demikian, Carmelita belum bisa mengkategorikan situasi ini sebagai sesuatu yang berbahaya.
“Berbahaya atau tidak, bergantung dari seberapa besar kontribusi nilai ekspor komoditas non-migas kita yang diangkut dengan kontainer, yang menghasilkan devisa,” tutur Carmelita.
Solusi yang diupayakan
Carmelita mengatakan bahwa pembicaraan dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan terus dilakukan. Sejumlah insentif untuk kapal-kapal internasional pun digelontorkan. Bea cukai pun sudah mempercepat clearance kontainer yang prosesnya tertahan.
"Tapi efeknya kecil sekali. Cukup sulit menyelesaikan masalah ini, karena ini soal business-to-business (B to B). Tapi sekali lagi, bukan hanya Indonesia, tapi semua negara, jadi tetap harus optimis mencari jalan keluar," ujar Carmelita.
Carmelita juga menyampaikan bahwa INSA berpandangan bahwa solusi permasalahan ini dapat ditempuh dengan langkah jangka panjang dan jangka pendek. “Jangka pendeknya adalah seperti yang dilakukan pemerintah negara-negara lain, yakni mendata semua kargo ekspor dan ketersediaan space kapal serta kontainer,” ucapnya.
Menurutnya, data yang didapat akan memudahkan Pemerintah untuk turut berperan melakukan pendekatan pada Main Liner Operator (MLO) Internasional Shipping. Hal ini terutama terkait negosiasi untuk mendapatkan space kapal agar kargo ekspor bisa diangkut. Selain itu, Pemerintah juga dapat menghitung berbagai aspek tentang ketersediaan kapal BUMN yang dapat dimobilisasi untuk mengangkut muatan ekspor.
“Untuk jangka panjangnya, kondisi over demand terhadap supply ini harus diseimbangkan kembali. Para MLO juga sudah memesan pembangunan kapal dan kontainer di China dan Vietnam. Indonesia juga perlu menghitung dan memikirkan untuk membangun flag carrier, serta mendorong BUMN juga memiliki serta mengoperasikan International shipping,” ujar Carmelita.