Jakarta, FORTUNE – Band asal Inggris, Bring Me The Horizon (BMTH) menghentikan aksi panggungnya di tengah pertunjukan karena masalah panggung pada Jumat (10/11). Demikian pula pada penyelenggaraan di hari kedua yakni sehari setelahnya.
Pengamat menilai, industri pertunjukkan di Indonesia sedang mengalami gagap pasca pandemi.
Etnomusikolog dan Musisi ISI Yogyakarta, Aris Setyawan mengatakan, usai pembatasan kegiatan pada pandemi Covid-19 selama kurang lebih dua tahun, industri pertunjukan kembali menggeliat lagi. Hal itu memantik euforia dan membuat siapa pun bisa mengadakan pertunjukan musik.
“Di satu sisi bagus, artinya industri pertunjukan bergeliat kembali, di sisi lain ini buruk karena kemudian banyak promotor/EO yang mengadakan pertunjukan dengan serampangan,” ujar Aris kepada Fortune Indonesia, Senin (13/11). “Meski tidak memiliki kapabilitas dalam mengadakan pertunjukan, mereka nekat menyelenggarakan pertunjukan demi meraup cuan.”
Akhirnya, beberapa waktu terakhir banyak penyelenggaraan event konser yang berantakan karena pengelolaannya yang buruk. Beberapa festival musik batal digelar karena pihak promotor yang korupsi dana operasional, persiapan yang kurang matang, hingga sistem kerja sama dengan vendor yang tak terselesaikan dengan baik.
Hal ini pun menyebabkan kekecewaan penonton karena hingga menimbulkan kericuhan dan aksi perusakan.
Aris mengatakan, pembentukan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) diharapkan bisa menjadi solusi. Asosiasi ini dapat menjadi verifikator untuk menilai apakah sebuah promotor bisa dan mampu mengadakan pertunjukan atau tidak. “Solusi lainnya ya harusnya datang dari pemerintah yang harus membuat kebijakan yang mengatur penyelenggaraan pertunjukan atau konser musik ini,” katanya.
Wajar BMTH batalkan konser
Konser Band BMTH menang cukup ditunggu para penikmat musik Tanah Air. Namun, di tengah pertunjukan, BMTH urung melanjutkan penampilannya, karena masalah teknis pada panggung yang tidak stabil. Bahkan, hal ini menimbulkan risiko besar pada penampilan band yang dikenal memainkan genre musik metal alternatif ini.
"Kami sangat takut sesuatu akan terjadi hal yang tidak diinginkan apabila konser dilanjutkan. Jadi kami tidak punya pilihan selain menghentikan konser. Dan sayangnya, kami harus membatalkan konser–termasuk di penampilan hari kedua (11/11),” kata vokalis BMTH, Oliver Sykes melalui unggahan akun media sosialnya.
Aris menilai bahwa BMTH jelas berhak dan wajar jika mengentikan pertunjukkan karena alasan panggung yang tidak stabi dan tak sesuai standar. “BMTH adalah band metal sehingga mereka bergerak aktif selama pertunjukan, ini jelas mengkhawatirkan jika stage sampai rubuh bukan hanya personel BMTH yang kena, penonton juga bisa kena,” katanya kepada Fortune Indonesia.
Sangat disayangkan
Aris menyayangkan kegagalan Ravel Entertainment–promotor konser BMTH–dalam menyediakan panggung sekaligus lokasi konser di Beach City International Stadium. “Venue ini memiliki banyak kekurangan, di antaranya adalah tidak adanya akses keluar darurat. Jika kita ingat ke belakang, pada 2014 Ahok pernah menutup venue ini,” ujarnya.
Padahal, menurutnya Ravel Entertainment memiliki reputasi yang cukup baik dengan penyelenggaran festival musik cadas Hammersonic yang dinilai sukses beberapa waktu lalu. Selain itu, Ravel Entertainment pun sebenarnya masuk di APMI yang memiliki data kuat soal venue terbaik untuk mengadakan konser indoor bagi musik-musik cadas, seperti yang dimainkan BMTH.
Sebagai kompensasi, pihak Ravel Entertainment pun menyatakan akan mengembalikan biaya tiket konser hari pertama secara proporsional dan secara penuh bagi para penonton di hari kedua yang terpaksa dibatalkan.
“Itu langkah yang sudah tepat. Penonton sangat dirugikan di sini, jadi mereka layak mendapat kompensasi refund,” kata Aris berpendapat.
Penonton ricuh
Aris menyesalkan kerusuhan yang timbul pasca dihentikannya konser BMTH. Namun, hal ini tak akan bisa terhindarkan karena penonton kecewa dan marah akibat pertunjukkan yang sangat jauh dari ekpektasi mereka.
“Buntut dari kejadian ini tidak main-main, loh. Musisi luar negeri lainnya bisa berpikir dua kali sebelum memutuskan tampil di Indonesia. Mereka bisa saja mem-blacklist Indonesia karena takut kejadian serupa bakal terjadi,” ujar Aris.
Selain itu, Aris menyayangkan sikap Ravel Junardy sebagai pemilik Ravel Entertainment, yang alih-alih menenangkan penonton, namun justru meminta penonton untuk segera keluar venue dengan tetap tenang.
Menurutnya hal ini terkesan ‘mengentengkan’ para penonton, sehingga tak heran banyak penonton yang marah dan akhirnya rusuh. “Pihak promotor ini harus memperbaiki cara berkomunikasi mereka,” katanya.