Jakarta, FORTUNE – Isu perubahan iklim dipandang sebagai momok menakutkan dan tegah menjadi sorotan negara dunia. Presidensi G20 yang diemban Indonesia bisa momentum untuk mendorong berbagai kebijakan transisi energi hijau.
Wakil Menteri BUMN, Pahala Nugraha Masyuri, mengungkapkan Indonesia memiliki posisi strategis di G20 tahun ini dalam pembuatan berbagai kebijakan untuk meredam dampak buruk perubahan iklim. “Transisi energi yang berkelanjutan tak terelakkan. Hampir semua negara sudah memulai transisi energi hijau dengan bertahap mengurangi energi fosil,” kata Pahala seperti dikutip Antara (15/1).
Komitmen dunia dalam mengurangi emisi karbon untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat celcius, menjadi sebuah peluang bagi Indonesia dalam mengembangkan energi baru terbarukan, termasuk di sektor pembiayaannya. Menurutnya, transisi energi harus terus berjalan, meski banyak tantangan yang harus dihadapi.
Rencana dan target penyediaan energi terbarukan
Kementerian BUMN mendukung Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih hijau. “Dalam RUPTL 2021-2030, porsi listrik dengan energi terbarukan sebesar 51,57 persen atau setara 20.923 megawatt,” ucapnya.
Peta jalan transisi energi Indonesia tertuang dalam strategi besar energi nasional. Dalam peta jalan tersebut, bauran energi baru terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025 dan mencapai 31 persen pada 2050.
Selain itu, diharapkan energi bersih yang digunakan pun berasal dari energi lokal. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian energi nasional.
Energi panas bumi jadi andalan
Pahala menuturkan, panas bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Potensi ini tidak hanya dapat meningkatkan kualitas udara di Indonesia dan mendukung pencapaian target pengurangan emisi karbon, namun juga menjadi peluang bisnis yang menguntungkan bagi negara.
Panas bumi, akan menjadi energi terbarukan yang memiliki porsi terbesar untuk dikembangkan Pemerintah. “Kita akan kembangkan geothermal (panas bumi) karena yang menguntungkan di geothermal. Target penurunan emisi dari perusahaan BUMN 85 juta ton karbon dioksida,” katanya.
Energi panas bumi dapat menjadi andalan Indonesia dan dimanfaatkan sebagai baseload–daya listrik dasar untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Biaya penyediaan energi ini pun lebih murah daripada jenis energi terbarukan yang lain, yakni sekitar7,6-8 sen dolar AS per kWh.
“Bandingkan dengan baterai dari energi surya yang 12 sen dolar AS per kWh,” kata Pahala.
Peluang pengembangan energi terbarukan
Peluang pengembangan energi panas bumi masih terbuka lebar. Menurutnya, panas bumi dapat menekan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional yang masih berada di kisaran 1,2 juta barel per hari. Adapun saat ini, baru 9 persen wilayah yang memproduksi panas bumi dengan kapasitas 1.900 megawatt.
“Kita masih punya potensi 19 gigawatt. Kami dorong agar Pertamina Geothermal Energy (PGE) mengembangkan area panas bumi,” ujarnya.
Selain itu, peluang ekspor yang datang dari mancanegara pun harus ditangkap dengan jeli. Misalnya, Energy Market Authority (EMA) Singapura yang telah mengumumkan adanya diversifikasi sumber listrik lewat pembangkit listrik energi terbarukan hingga 4 gigawatt non-intermiten pada tahun 2035.
“Untuk itu, dibutuhkan sinergi yang kuat antara PNRE (Power & New Renewable Energy), PGE dan PLN (Perusahaan Listrik Negara) untuk menyediakan kebutuhan energi hijau di dalam negeri, serta mampu menangkap peluang ekspor dengan sumber daya yang melimpah,” tutur Pahala.