Jakarta, FORTUNE – Menyusul penutupan TikTok Shop secara resmi oleh Pemerintah Indonesia pada 4 Oktober 2023, sebuah fenomena yang disebut ‘fake buyer’ dalam praktik perdagangan toko online marak diungkap asejumlah akun media sosial.
Fenomena ini tak lepas adari kisah para penjual di social-commerce yang bisa meraup omzet hingga miliaran rupiah dalam satu momentum live shopping. Banyak warganet menilai penghasilan yang diraup para penjual dalam satu penjualan hingga miliaran rupiah sebagai hal yang tidak wajar.
Belakangan, diketahui bahwa fake buyer menjadi salah satu taktik yang digunakan oleh para penjual online untuk bisa mendominasi pasar perdagangan online. Pelaku fake buyer biasanya akan memberikan penawaran tunai pada produk yang mereka tahu tidak dapat dibeli dan kemudian menghilang tanpa jejak.
Berikut ini, Fortune Indonesia akan mengulas secara lebih jauh tentang apa itu Fake Buyer dan bagaimana fenomena ini bisa terjadi di tengah perdagangan online yang kian marak.
Pengertian
Mengutip salvo.co.id, fake buyer adalah sebuah strategi untuk meningkatkan penjualan secara terselubung, karena para pemilik toko online menggunakan pembeli palsu untuk memberikan tanggapan yang positif. Hal ini dilakukan untuk menaikkan rating dan juga menarik minat dari para calon pembeli melalui review positif yang senagaja ditulis para fake buyer.
Dari asal katanya, fake buyer berarti pembeli palsu. Artinya, pemilik toko telah menggunakan jasa konsumen palsu untuk membeli produk namun pada kenyataannya produk tidak benar-benar dibeli.
Para fake buyer bertugas untuk menciptakan kesan bahwa ada banyak pembeli yang puas dengan produk atau layanan suatu perusahaan, padahal sebenarnya ulasan dan testimoni yang diberikan adalah palsu atau dibuat oleh akun palsu.
Dengan demikian, reputasi perusahaan yang menjual produk tersebut akan meningkat, seiring naiknya kepercayaan konsumen terhadap produk yang ditawarkan.
Cara kerja
Dalam unggahannya pada 7 Oktober 2023, seorang pengguna TikTok dengan akun @andreayudias mengisahkan cerita rekannya yang bekerja sebagai fake buyer. Berdasarkan informasi yang ia unggah di akun TikToknya, kreator ini menyebut rekannya bisa memperoleh penghasilan Rp1,5 juta sebulan hanya dengan menjadi fake buyer.
Untuk menjadi seorang fake buyer, seseorang harus bergabung dalam sebuah grup freelance yang fokus pada aplikasi obrolan. Melalui grup ini, maka fake buyer akan memulai aksinya berkomentar dalam setiap live shopping yang menggunakan jasanya.
Berikutnya, yang dilakukan fake buyer adalah melakukan check out (CO) atau keputusan untuk membeli pada sekitar 10 akun yang berbeda. Setiap CO, fake buyer akan dibayar sekitar Rp5.000, berarti untuk 10 akun berbeda, ia akan mendapat sekitar Rp50.000 sehari. Dari jumlah inilah, maka didapat perkiraan penghasilan Rp1,5 juta per bulan.
Barang yang dibeli akan tetap dikirim dengan metode Cash on Delivery (COD) untuk memastikan fake buyer tak perlu mengeluarkan uang. "Mereka (penjual) dengan jasa ekspedisi juga sudah kerja sama. Begitu barang datang ke rumah temen gue, isinya itu sampah, bukan produk beneran. Kurirnya juga tidak minta uang lagi, soalnya mereka sudah kerja sama," tulis akun @andreayudias dalam unggahannya.
Strategi ini kerap dianggap sah-sah saja untuk dilakukan–selama tidak ketahuan–meski secara etika, fake buyer bisa merusak reputasi toko online di mata konsumen. Oleh sebab itu, penting bagi setiap toko untuk memhami bahwa integritas dan transparansi dalam praktik perdagangan adalah hal yang krusial.
Demikianlah ulasan tentang apa itu fake buyer dan bagaimana cara kerjanya. Semoga informasi ini bisa menjadi sebuah pengingat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati, baik sebagai penjual online, pembeli, atau individu yang ditawari pekerjaan sebagai fake buyer.