Jakarta, FORTUNE – Bila Anda pernah melihat sebuah tampilan logo yang menyerupai logo asli yang populer di Media Sosial, padahal sedikit berbeda dan mengandung sebuah sindiran atau olok-olok pada jenama asli logo tersebut, bisa jadi Anda sedang menyaksikan langsung sebuah konsep yang disebut Doppelganger Brand Image (DBI).
Ideoworks.id dalam laman resminya, mendefinisikan DBI sebagai sindiran bahkan makian pada sebuah jenama, dengan menduplikasikan identitas jenama tersebut secara berbeda, bahkan dengan makna yang bertolak belakang sampai 180 derajat.
Biasanya, DBI dibuat oleh seseorang atau sekelompok pihak dengan tujuan merendahkan brand yang logo atau slogannya diparodikan. Serangan ini bisa dilakukan oleh siapa saja, mulai dari tim brand lain, aktivis anti-brand, hingga orang-orang yang kecewa dengan brand tersebut.
Dengan demikian, DBI bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan sebuah jenama, karena berdampak negatif pada citra dan tingkat kepercayaan konsumen pada jenama tersebut. Hal ini diperparah dengan kehadiran sosial media yang berpotensi mengamplifikasi penyebaran image negatif tersebut. Untuk memahaminya lebih lanjut, berikut ini Fortune Indonesia akan mengulas beberapa hal terkait DBI.
Contoh
DBI kerap terjadi pada jenama-jenama besar, seperti McDonald’s atau Pepsi. Suatu kali, McDonald’s pernah mengklaim bahwa makanan yang mereka sajikan adalah makanan dengan bahan-bahan sehat, namun sebagian masyarakat yang merasa klaim perusahaan makanan global tidak sesuai. McDonald’s justru dianggap membuat generasi muda rentan pada obesitas.
Akhirnya, sebuah sindiran pun muncul dengan menghadirkan logo McDonald’s (dengan M besar berwarna kuning dan latar merah), namun bertuliskan McDiabetes.
Contoh lain datang dari jenama Pepsi yang juga dianggap berkontribusi terhadap peningkatan diabetes di masyarakat. Logo Pepsi yang berbentuk bulat dengan perpaduan warna merah, biru, dan putih pun diubah sedemikan rupa, sehingga memunculkan sebuah gambar sosok yang terindikasi overweight dan rentan kena diabetes.
Faktor yang menyebabkan
Dari contoh di atas, setidaknya ada dua hal yang bisa Anda simpulkan sebagai faktor penyebab terjadinya DBI. Salah satunya adalah penyebaran informasi atau klaim dari jenama, yang rentan mengundang kontroversi.
Terkadang, klaim yang berlebihan terhadap nilai produk Anda justru dapat menjadi ‘bumerang’ dan menimbulkan pandangan negatif terhadap citra sebuah jenama.
Selain itu, kampanye brand yang berdasar pada emosi, sangat berpotensi memunculkan DBI.
Dalam kampanye berbasis emosi, pendekatan emosi kerap dianggap palsu dan tidak otentik, sehingga masyarakat pun kecewa dan bisa mengungkapkan kekecewaan mereka dengan melakukan DBI.
Cara menghadapi
Dengan mengetahui sebagian faktor penyebab terjadinya DBI ini, maka Anda juga bisa memitigasi dampak dan memikirkan sejumlah upaya untuk menghindari atau meminimalisir terjadinya DBI. Kendati pendapat publik tidak bisa dicegah, namun DBI masih bisa dihindari dengan melakukan beberapa hal berikut ini:
- Buatlah klaim dan informasi yang benar tentang produk atau jenama yang Anda bangun. Tetap berusaha untuk mempersuasi calon klien maupun konsumen dengan hal yang sejujurnya, meskipun tetap fokus pada hal-hal yang positif. Selain itu, usahakan untuk tidak memunculkan klaim yang tidak bisa Anda buktikan.
- Ketika Anda hendak membangun social media Branding dengan emotive campaign, pastikan sensitivitas isu yang akan diangkat prospek reaksi yang akan dialami dari kampanye tersebut. Dengan begitu, Anda bisa meminimalisir potensi DBI dan tahu bagaimana cara menanggulanginya, seperti menjaga loyalitas konsumen atau bahkan membentuk program CSR untuk meningkatkan kembali rasa percaya konsumen.
Demikianlah beberapa hal yang bisa Anda ketahui tentang Doppelganger Brand Image (DBI) dalam upaya branding di media sosial.