Jakarta, FORTUNE – Energi adalah penopang kehidupan yang sudah pasti dibutuhkan oleh manusia. Namun, seiring perkembangan global, pengelolaannya transisi energi menemui kondisi dilematis yang membutuhkan kolaborasi strategis dari berbagai pihak.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengatakan bahwa yang menjadi tantangan global–termasuk Indonesia–saat ini adalah transisi energi. “Bagaimana kita bisa melaksanakan suatu program memanfaatkan energi bersih, di lain sisi mengurangi energi yang beremisi,” ujarnya dalam sesi pertama di hari kedua Indonesia Millenial dan Gen-Z Summit (IMGS) 2022, Jumat (30/9).
Dilematisnya, kata Arifin, di tengah tuntutan energi bersih ini, kebutuhan energi dunia pun meningkat dengan harga yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan kendala pada anggaran pemerintah. Sementara, pemanfaatan energi bersih yang melimpah di Indonesia masih belum bisa optimal. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang melimpah ruah, mulai dari surya, air, panas bumi, sampai dengan energi nuklir.
Dalam hal inilah, transisi energi penting sebagai upaya antisipasi situasi global yang tak menentu, salah satunya dengan pemberdayaan teknologi. “Teknologi ini harus ekonomis, jangan menyebabkan tambahan biaya kehidupan yang makin besar,” ujarnya.
Oleh karena itu, kolaborasi dari para pemangku kepentingan dan masyarakat diperlukan. Berbagai sektor perlu bekerja sama guna menciptakan upaya-upaya strategis, sehingga transisi energi bisa berlangsung secara tertata dan tidak menyebabkan kerugian bagi pemerintah, pemangku kepentingan, maupun masyarakat.
Langkah Pertamina
Pada sesi dialog, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Power Indonesia, Fadli Rahman, sepakat bahwa kolaborasi berbagai pihak penting dalam mewujudkan transisi energi di Indonesia. Apalagi pemerintah Indonesia cukup serius mengurus persoalan ini, mengejar penurunan emisi 32-43 persen pada tahun 2030.
Ia mengatakan bahwa Pertamina sendiri melakukan berbagai upaya dalam mendukung program-program EBT pemerintah, salah satunya membentuk satu subholding–di antara enam yang ada–untuk fokus di renewable energy, yakni PT Pertamina Power Indonesia.
“Pertamina, dalam dua tahun terakhir sudah cukup serius dalam mencapai keberlanjutan dan ketahanan energi. Bahkan, ranking ESG (Environmental, Social, Governance) dalam hal sustainability secara global itu nomor 15, untuk oil and gas company,” kata Fadli yang masuk jajaran milenial di Pertamina ini.
Selain itu, kata Fadli, pada 2030 Pertamina berencana meningkatkan pemanfaatan EBT hingga 17 persen. Hal ini meliputi dana sebesar US$11 miliar yang dianggarkan untuk belanja modal di sektor EBT. “Kami harus membangun beberapa fasilitas yang berkaitan dengan EBT, solar panel misalnya,” tuturnya. “Di 400 lokasi, hanya dalam waktu satu tahun.”
Selain itu, dana tersebut juga akan digunakan untuk pengembangan EBT lainnya, seperti panas bumi, dan juga infrastruktur kendaraan listrik, serta ekosistem baterai. “Dua bulan lalu, yang diresmikan oleh Pak Arifin juga, pilot pembangunan ekosistem motor listrik di Bali, bersama Grab,” kata Fadli.
Upaya Grab Indonesia
Sebagai salah satu pelopor startup transportasi umum, Grab menegaskan komitmennya untuk menyukseskan emisi nol karbon pada 2040, salah satunya melalui penggunaan kendaraan listrik pada armada motor dan mobilnya.
“Kami sudah melakukan beberapa hal dari 2019, namanya langkah hijau. Ada tiga hal, satu kurangi emisi, yang kedua adalah langkah menanam pohon, dan yang ketiga adalah langkah mengurangi sampah,” kata Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi.
Berkenaan dengan penggunaan kendaraan listrik, kata Neneng, Grab sudah mulai dari 2019 dan hingga kini sudah ada 8.500 armada kendaraan listrik yang digunakan. “Itu sudah mengurangi 5.000 ton karbon, dan juga membantu pemerintah sebanyak 2 juta liter bensin yang kita save,” katanya.
Sedangkan untuk pengurangan sampah, Grab bekerja sama dengan Aqua Danone dan startup daur ulang sampah, Octopus. Untuk penanaman pohon, Grab menerapkan biaya carbon offset pada aplikasinya, senilai 250-500 rupiah. “Hasilnya, kami belikan pohon, dan kami sudah menanam pohon lebih dari 42.000 pohon,” ujar Neneng.