Jakarta, FORTUNE – Sejumlah pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menjual dagangannya secara online, mengeluhkan sistem perdagangan online di berbagai platform di Indonesia, yang kerap membuat produk-produk dalam negeri tak mampu bersaing dengan produk dari luar negeri.
Salah satu pelaku bisnis UMKM fesyen dari Bandung, Dian Fiona, menyebut bahwa masuknya barang impor–di platform online–secara bebas tanpa dikenakan pajak, membuat usaha dan jenama lokal terkena imbasnya. “Banyak yang kami bayarkan sebagai pengusaha Indonesia, sementara yang dari luar itu nggak bayar apa-apa. Itu otomatis mempengaruhi harga jual kami, lebih tinggi dari yang impor,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Senin (14/8).
Menurutnya, pengusaha lokal umumnya menanggung banyak biaya produksi mulai dari biaya pekerja, bahan baku, sampai pajak yang menjadikannya sulit bersaing. “Kami mempekerjakan para kepala keluarga dari kampung, sudah wajib pajak pula. Ketika ada produk dari Cina secara bebas untuk didistribusikan di online, kami jadi sulit bersaing. Jadi harus ada pengawasan di martketplace,” ujarnya usai acara pertemuan pada penjual online dengan KemenkopUKM.
Konsumen tertarik harga murah
Meski kualitas produk Indonesia lebih baik, kata Dian, namun tak bisa dipungkiri kalau konsumen saat ini sangat tertarik dengan penawaran harga barang-barang impor yang dijual dengan harga jauh lebih rendah dari pasaran. Hal ini jelas merusak harga pasar. “Sebagai pebisnis, kalau saya hitung-hitung, itu nggak masuk akal kalau harga jual produk mereka murah dengan dibebankan biaya-biaya yang sama seperti saya katakan tadi,” katanya.
Dengan barang yang menyerupai, bahkan bisa sama persis, ada gap yang cukup besar antara harga jual UMKM dan produk-produk dari luar negeri yang kemungkinan berstatus crossborder atau lintas batas negara. “Mereka (produk asing) bisa saja ambil foto dari kita, atau foto yang bagus dengan editan, tapi harganya jomplang, otomatis masyarakat awam akan membandingkan dan memilih yang murah,” ujar Dian. “Gap-nya (harga jual) bisa 20-30 persen.”
Perbaikan regulasi saja cukup
Menhefari dari Dimensi, salah satu asosiasi reseller online, menyebut bahwa perbaikan regulasi–seperti Revisi Permendag no.50/2020 yang sedang dalam proses harmonisasi–sebenarnya sudah cukup untuk menuntaskan permasalahan ketimpangan harga jual.
“Saya minta ke Pak Menteri (Teten), saya jual sweater dia jual sweater (sama), tapi dia jual Rp20.000, sedangkan kami upah tukang jahitnya saja Rp18.000, belum lagi bahan, bagaimana saya jualan?” ujar Menhefari kepada Fortune Indonesia, Senin (14/8). “Kami di TikTok harga jatuh, karena ada harga di TikTok Shop yang sangat murah dan tidak masuk akal. Kami tidak bisa memilih ekspedisi dan tiba-tiba ada produk baru yang masuk.”