Jakarta, FORTUNE – Indonesia adalah negara agraris. Masyarakat Indonesia sudah sejak dulu menjadikan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Sektor pertanian merupakan salah satu penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi di Indonesia, termasuk dalam bisnis atau yang sering kita kenal dengan agrobisnis.
Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agrobisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Artinya, pandangan pokok di bidang ini mengacu pada rantai sektor pangan atau food supply chain.
Saragih (1998) mengutip W. David Downey serta Steven P. Erickson yang memaparkan bahwa agribisnis merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditas pertanian secara luas.
Ruang lingkup agrobisnis
Ruang lingkup Agrobisnis memiliki cakupan luas, tidak hanya sekadar Bertani atau pembudidayaan tanaman. Bahkan, peternakan, kehutanan, dan perikanan juga termasuk di dalamnya.
Cakupan lain dari agrobisnis, antara lain usaha dalam memproduksi benih serta bahan kimia untuk pertanian, makanan ternak, alat serta mesin pertanian, cara memproses bahan pertanian, hingga produksi biofuel serta wisata pertanian.
Pemahaman agrobisnis dan prospek yang dimiliki
Memahami agrobisnis tidak hanya memberikan kita pandangan lebih luas tentang sektor bisnis potensial yang bisa dijadikan sumber pendapatan. Namun ada sejumlah hal lain yang bermanfaat saat kita mendalami agrobisnis.
Melalui agrobisnis, kita akan mendapatkan wawasan tentang cara meningkatkan pendapatan dari produsen, menambah penyerapan tenaga kerja, menumbuhkan devisa negara, meningkatkan jumlah agroindustri, maupun mendukung tingkat keberhasilan pembangunan di bidang pertanian.
Dalam kasus Indonesia, agrobisnis bisa dilakukan dengan cara meningkatkan penggunaan dari teknologi baru dan canggih, serta memberlakukan efisiensi pada semua bidang untuk menekan modal produksi. Melalui sistem ini, sektor pertanian di Indonesia dapat memberi keuntungan lebih besar, misalnya dengan memprioritaskan komoditas unggulan yang ada di dalam negeri.
Hal ini tak lepas dari berbagai kekayaan alam Indonesia, semisal tanah yang subur untuk ditanami tanaman pangan, iklim yang cocok dengan banyak komoditas pertanian, lokasi yang berada di khatulistiwa memberikan sinar matahari yang cukup dalam pengembangan tanaman pangan, serta aliran sungai dan sumber air lain yang sangat berlimpah.
Perkembangan agrobisnis di Indonesia
Secara historis, melansir cermati.com, perkembangan agrobisnis di Indonesia sendiri terbagi menjadi beberapa fase, sebagai berikut:
- Fase Konsolidasi: Terjadi pada tahun 1967-1978 dengan pertumbuhan di sektor pertanian 3,39 persen lebih besar, yang ditengarai dari kinerja sub-sektor tumbuhan pangan serta perkebunan sebesar 3,58 persen dan 4,53 persen. Tiga kebijakan penting pemerintah pada fase ini, yakni penggunaan teknologi atau intensifikasi, perluasan area (ekstensifikasi) dengan mengkonversi hutan yang tidak produktif, serta penganekaragaman dalam usaha agrobisnis (diversifikasi) guna menambah pendapatan petani.
- Fase Tumbuh Tinggi: Periode ini terjadi tahun 1978-1986, agrobisnis pada sektor pertanian memiliki angka pertumbuhan lebih dari 5,7 persen. Di lain sisi, produksi pangan, perikanan, perkebunan, dan peternakan memiliki angka produksi mencapai 6,8 persen dan puncaknya terjadi swasembada pangan.
- Fase Dekonstruksi: Di fase dekonstruktif tahun 1986-1997, sektor pertanian Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan, yakni di bawah angka 3,4 persen per tahun. Hal ini terjadi karena ada pengacuhan dari perumusan kebijakan di tengah anggapan pencapaian swasembada pangan.
- Fase Krisis: Fase ini terjadi di era krisis moneter, mulai 1997 hingga 2001, dengan terpuruknya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika, sehingga komoditas ekspor di sektor pertanian menjadi lebih tinggi, khususnya perikanan dan perkebunan. Namun, sektor pertanian masih kewalahan dan harus menyerap limpahan dari tenaga kerja di sektor informal serta perkotaan sebagai dampak dari krisis yang terjadi.
- Fase Desentralisasi: Terjadi mulai 2001 hingga saat ini. Menurut survei dari LPEM-FEUI, transisi politik yang terjadi membuat banyak perda dibuat dan menimbulkan tidak sedikit penyimpangan administrasi serta korupsi. Alhasil, terdapat banyak biaya tambahan untuk bisa menjalankan birokrasi pemerintah. Meski begitu, agrobisnis cukup berkembang dan makin banyak orang yang menyadari potensinya untuk dijalankan.