Jakarta, FORTUNE – Perusahaan fesyen lokal, Erigo, mengungkapkan beragam tantangan yang dihadapi bisnisnya ke depan, salah satunya perubahan perilaku konsumen. Perusahaan akan memasang sejumlah strategi, dengan menyeimbangkan proporsi penjualan online dan offline.
CEO Erigo, Muhammad Sadad, mengatakan pada saat pandemi Covid-19, orang sangat mengandalkan sistem online pada saat ingin berbelanja. Namun, dengan melandainya kasus dalam beberapa waktu belakangan, penjualan offline kembali diminati dan perlahan naik lagi. “Jadi, tantangan paling berat adalah bagaimana menyiasati perubahan perilaku konsumen,” ujarnya saat berkunjung ke kantor IDN Media, Selasa (30/8).
Meski saat ini penjualan offline kembali marak, namun kondisinya tidak sama seperti pra-pandemi. Orang yang sudah terbiasa online, kata Sadad, cenderung memiliki kebiasaan untuk mencoba cek barang yang diinginkan secara online, sebelum akhirnya memutuskan offline.
“Tantangan yang paling membingungkan adalah berapa nih porsi yang harus kita stock up. Kalau tahun lalu, untuk online aja semua, tapi tahun ini bingung kalo tarik barang ke inventory, online-nya gimana, online kebanyakan takutnya malah nggak kemakan (terjual),” ujar Sadad.
Strategi Omnichannel
Sadad mengatakan, strategi omnichannel adalah salah satu solusi yang bisa diterapkan untuk menghadapi perubahan perilaku konsumen dari sebelum pandemi dan sesudahnya. Namun, strategi ini baru bisa diterapkan pada dua tahun mendatang.
Meski saat ini Erigo memang mempunyai beberapa gerai khusus, namun perusahaan masih mengandalkan pop up store–gerai sementara–namun dalam jangka waktu lebih dari enam bulan.
“Kita lagi cek pasar juga, tapi jujur kami kangen lebaran karena lebaran kemarin penjualan sampai kewalahan, tapi sayang stok online kami masih agak ketarik,” ujarnya.
Perbanyak stok
Strategi Erigo dalam menghadapi perubahan perilaku konsumen yang tidak menentu adalah dengan memperbanyak stok barang. Hal ini dinilai cukup membantu, khususnya dalam memenuhi permintaan online maupun offline.
“Saya pikir, masih ada market yang belum tersentuh, tapi cara jualnya offline. Kalau online, susahnya orang dengan satu jempol pindah ke toko lain, tapi kalau offline, berapa toko sih yang dimasukkin. Jadi, memang perilakunya yang berubah,” kata Sadad. “Makanya saya percaya, stok lagi aja yang banyak.”
Erigo menjalankan pabrik sendiri untuk memasok 5-10 persen produknya. “Sisanya outsource aja. Capek untuk ngurusin manpower, untuk ngurusin pabrik nggak gampang,” katanya.
Meski demikian, quality control jadi sesuatu yang diprioritaskan, terutama sejak memilih rekanan atau vendor yang diajak kerja sama. “Kita memang punya standar, tapi mereka harus punya standar yang lebih tinggi duluan,” katanya.
Rencana ke depan
Sadad pun membeberkan rencanaya menggandeng peritel offline untuk memperkuat channel penjualan, seperti yang perusahaan lakukan dengan menggandeng Matahari Department Store. Kerja sama dengan salah satu department store besar di Indonesia ini diyakini akan menguntungkan.
“Ini karena kami melihat Matahari punya 150 toko,” katanya.
Saat ini, produk paling laris dari Erigo adalah produk desain bertema Jepang. Namun, tidak akan diperpanjang, karena setiap brand sekarang mengeluarkan tema yang sama. “Mungkin dalam waktu dekat, kami akan mengambil tema yang lebih menonjolkan kesederhanaan, namun dikemas dengan beberapa grafis menarik,” ujarnya.