Jakarta, FORTUNE – Perusahaan farmasi, PT Phapros Tbk, genjot digitalisasi teknologi dalam setiap proses bisnis farmasi perusahaan.
General Manager IT Phapros, Yudhi Arieffianto, mengatakan saat ini karakteristik industri farmasi yang berkaitan erat dengan regulasi-regulasi pemerintah, seperti tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), penggunaan bahan, pengolahan, infrastruktur hingga sistem komputerisasinya.
“Proses-proses bisnis ini membutuhkan adopsi teknologi, tidak saja di bagian produksi, tapi juga mencakup rantai pasokannya,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Fortune Indonesia, Selasa (23/5).
Phapros menerapkan proses digitalisasi yang cukup kompleks yang berkaitan dengan regulasi dari otoritas yang berwenang, operasional, sampai pada pemanfaatan teknologi kecerdasan Artificial Intelligence (AI).
Dengan karakteristik industri farmasi yang padat modal, kebutuhan investasinya tak cukup hanya pada mesin, tapi juga kualifikasi ruangan serta persyaratan infrakstruktur. Oleh karenanya, teknologi dan digitalisaai bisa menjadi solusi mengatasi tantangan di induatri farmasi.
“Teknologi itu butuh investasi, saat kesenjangan proses sudah teridentifikasi, maka saat itu sudah bisa dicari teknologi yang sesuai dengan portofolio produk dan kebutuhan kita,” kata Yudhi.
Manfaat digitalisasi teknologi
Digitalisasi teknologi dinilai bisa membantu tim operasional seperti melakukan pengecekan status produksi, kendala yang sedang dihadapi, titik kemacetan atau bottle neck, dan semuanya bisa divisualisasi. Sebelumnya, tim lapangan tidak punya akses untuk melihat product availability sehingga banyak yang luput untuk diawasi.
“Demikian juga dari sisi pengadaan. Ketika kita menerima terlalu banyak pesanan, maka butuh sistem reminder agar tidak terlewat, sistem monitoring untuk melihat apakah barangnya sudah datang atau belum, sudah ditempatkan atau belum, juga apakah sudah terdistribusi atau masih di pabrik,” ujar Yudhi.
Pemanfaatan teknologi di sisi lain juga akan menyebabkan berbagai penghematan, misalnya dalam proses produksi atau manajemen operasional. "Misalnya menghemat berapa jam. Lalu kita kalkulasikan menjadi nilai rupiah, anggap saja penghematannya senilai 100 juta rupiah, sedangkan harga teknologinya 500 juta. Artinya, dalam lima bulan modal sudah bisa kembali,” katanya.
Penerapan teknologi
Yudhi mengungkapkan Phapros membutuhkan teknologi Laboratory Management System (LIMS) sebagai teknologi mandatori bagi industri farmasi. Namun, untuk menerapkannya butuh biaya yang cukup tinggi. “Sedangkan, kalau dikembangkan sendiri secara kalkulasi bisa lebih efisien, kebutuhan user dan kewajiban terhadap regulator pun terpenuhi,” katanya.
Phapros sudah mengembangkan teknologi Business Supply Chain (BISCHAIN) untuk memonitor rantai pasok dan ketersediaan produk. Sedangkan di proses manufaktur, Phapros sudah mengembangkan E-CPB, yakni Pencatatan Pengelolaan Bets secara Elektronik yang bisa mengurangi konsumsi kertas dan dipasang di dalam mobile device.
“Dari Warehouse, teknologi barcode juga sudah diimplementasikan oleh Phapros, sehingga bisa dengan cepat mengetahui kapan barang datang dan disimpan. Untuk terus meningkatkan kualitas dan meminimalisir barang retur, Phapros juga telah mengembangkan sistem Product Change Control (PCC) di Quality Operation,” ujar Yudhi.
Pemanfaatan teknologi AI pun menurutnya telah mulai diterapkan, meski butuh waktu untuk merapkannya secara masif. Salah satu tantangannya adalah validitas. Di luar negeri, industri farmasi sudah ada yang mengembangkan kecerdasan buatan untuk memprediksi senyawa dalam penggunaan obat, dengan database bahan farmasi yang sudah sangat lengkap.