Jakarta, FORTUNE – Pengamat menilai kebijakan pembatasan pemanfaatan PLTS Atap sebesar 10-15 persen dari kapasitas pelanggan tak diperlukan, selama pelanggan tak menurunkan besaran kapasitas total.
Guru Besar Teknik Tenaga Listrik dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Atmonobudi Soebagio, mengatakan bila sebuah rumah berlangganan 10.000 VA (volt-ampere) dan menaikkan daya menjadi 15.000 VA, maka rumah tersebut boleh menggunakan PLTS Atap sebesar 5000 VA.
Yang tidak diperbolehkan adalah mengubah kategori pelanggan dari kelas 10.000 VA menjadi 6.000 VA dengan menggunakan PLTS mandiri sebesar 4.000 VA. “Dalam kasus ini PLN rugi daya 4.000 VA. Dalam skala besar, bila banyak pelanggan listrik menggunakan PLTS, bisa membuat sebuah PLTU tutup, padahal baru 10 tahun beroperasi,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Selasa (7/6).
Listrik PLN bisa menganggur
Atmonobudi menjelaskan bahwa dalam situasi business as usual PLN bisa rugi jika pelanggan menurunkan kelasnya karena mengakibatkan adanya daya listrik yang menganggur. Padahal, kapasitasnya sudah disiapkan oleh PLN.
Penggunaan PLTS Atap tidak akan berdampak apapun pada PLN bila kategori kelas pelanggan tidak diturunkan. “PLN tidak rugi jika PLTS yang dipasang oleh pelanggan hanya untuk menambah daya,” ucap Atmonobudi.
Solusi penggunaan meteran dua arah
Menurut Atmonobudi, bila PLN memassalkan kebijakan penggunaan KWh meter dua arah (impor-ekspor), pelanggan listrik yang juga menggunakan PLTS akan berubah statusnya menjadi Prosumer. “Yaitu konsumer yang juga sebagai produser ketika pelanggan tersebut sedang minimum dalam penggunaan listriknya pada jam-jam tertentu,” tuturnya.
Dalam kondisi ini, pelanggan tidak menerima uang dari PLN secara tunai, melainkan berupa potongan yang diperhitungkan pada tagihan bulan berikutnya. “PLN bisa membeli kelebihan listrik dari pelanggan, maksimum sebanyak 65 persen dari tarif yang pelanggan bayarkan ke PLN,” katanya.
Listrik matahari jadi tak menarik
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan bahwa kebijakan pembatasan pemanfaatan PLTS Atap sebesar 10-15 persen dapat membuat listrik matahari tak menarik dari sisi keekonomian. “Minat masyarakat memasang PLTS atap jadi menurun,” ujarnya dalam keterangan, Selasa (7/6).
Dengan penerapan ini, target bauran energi baru terbarukan (EBT) akan sulit tercapai. Apalagi, Indonesia masih perlu menambah 14 Gigawatt (Gw) pembangkit energi bersih, padahal berdasarkan RUPTL PLN hanya akan membangun 10,9 Gw hingga 2025.