Jakarta, FORTUNE – Daftar orang terkaya Indonesia mengalami pergeseran. Hal ini sebagiamana yang dialami taipan kelahiran Singapura, Low Tuck Kwong, yang berpindah posisi ke puncak, mengalahkan duo bersaudara pemilik Grup Djarum, Rudi Budi Hartono dan Michael Hartono sebagai orang terkaya di Indonesia.
Berdasarkan data The Real Time Forbes Billionaires List, kekayaan Low Tuck Kwong kini menjadi US$ 30,8 miliar atau sekitar Rp481,99 triliun (rate: Rp15.650,33 per dolar AS), dan menempati urutan terkaya ke-43 di dunia per (27/12). Sementara, Rudi Budi Hartono berada di urutan ke-67 dengan kekayaan mencapai US$22,5 miliar atau Rp352,11 triliun; dan Michael Hartono berada di peringkat ke-71 dengan kekayaan US$21,6 miliar atau sekitar Rp338,03 triliun.
Low Tuck Kwong merupakan pemegang saham utama PT Bayan Resources Tbk (BYAN) dengan kepemilikan 60,94 persen. Berdasarkan market cap perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Bayan kini berada di posisi kedua, setelah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), perusahaan milik Hartono bersaudara.
Data BEI, Selasa (27/12) pukul 09.34 WIB mencatat, market cap BYAN mencapai Rp790 triliun dengan harga Rp23.700 per saham. Sedangkan, market cap BBCA sebesar Rp1.060 triliun dengan harga saham Rp 8.600 per saham.
Menjadi WNI
Low Tuck Kwong lahir di Singapura, pada 17 April 1948. Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan pebisnis dengan ayah–Low Yi Ngo–yang memiliki bisnis konstruksi di Singapura. Ia pernah ikut mengelola perusahaan keluarganya, hingga akhirnya memburu peluang bisnis baru dengan terbang ke Indonesia pada 1972 dan memutuskan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pada 1992.
Pada usia ke-24, Low Tuck Kwong mulai berkarier sebagai kontraktor bangunan melalui PT Jaya Sumpiles Indonesia (JSI) pada masa awal kepindahannya ke Tanah Air. Dia menakhodai JSI hingga merambah ke bidang pertambangan batu bara kontrak pada 1988.
Sumber kekayaan
Pundi-pundi kekayaan yang membawanya menjadi orang ke-43 terkaya di dunia berasal dari usaha batu bara, terutama melalui PT Bayan Resources Tbk yang didirikannya. Ia masuk ke bisnis pertambangan pada 1998, dengan membeli PT Gunungbayan Pratamacoal (GBP) dan PT Dermaga Perkasapratama (DPP). Saat itu, GBP belum menambang komoditas, bahkan Terminal Batu Bara Balikpapan milik DPP baru berkapasitas 2,5 juta ton per tahun, dikutip dari laman resmi Bayan Group.
Di bawah kepemimpinan Low Tuck Kwong, Bayan Group tumbuh signifikan hingga akhirnya memiliki nama besar di industri pertambangan seperti sekarang. Pembentukan grup tersebut terjadi lewat berbagai akuisisi strategis pada bisnis batu bara, hingga akhirnya dapat mengembangkan tambang batu bara greenfield.
Kinerjanya cemerlang hingga kuartal III-2022. Emiten tambang batu bara ini membukukan laba bersih US$1,62 miliar hingga akhir Q III-2022. Realisasi laba bersihnya melesat 150,3 persen ketimbang periode kuartal III-2021 yang hanya US$977 juta.
Kenaikan laba bersih diiringi dengan kenaikan pendapatan. Pendapatannya mencapai US$3,35 miliar hingga kuartal III-2022, naik 91,4 persen dari realisasi pendapatan pada periode sama tahun lalu yang mencapai US$1,75 miliar.