Jakarta, FORTUNE – Nestle adalah salah satu perusahaan fast moving consumer good (FMCG) global yang bergerak di industri pangan. Menyadari produknya berkontribusi menghasilkan sampah dari kemasan, Nestle pun mengambil sejumlah langkah dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Presiden Direktur Nestle Indonesia, Ganesan Ampalavanar, menyampaikan dua komitmen besar dalam upaya mengatasi pemanasan global. “Satu mengenai packaging, dan kedua tentang net emission,” ujarnya dalam sesi ‘When Profit Meets The Planet’ pada Fortune Indonesia Summit 2022, Kamis (19/5).
Nestle, kata Ganesan, ingin mengubah segala kemasan di produknya menjadi reusable dan recyclable. “Kami ingin seluruh kemasan produk kami di dunia menjadi reusable dan recyclable pada 2025. Dan sekarang di Indonesia, produk Nestle sudah 86 persen reusable dan recyclable. Jadi ada 2 tahun lagi sampai target 2025, dan menciptakan keseimbangan dalam hal ini cukup berat,” ujarnya.
Untuk target emisi nol, timeline yang dimiliki Nestle adalah mengurangi emisi 20 persen pada 2025. Kemudian, mengurangi emisi 50 persen pada 2030, dan bisa mencapai nol pada 2050. “Hal ini cukup menantang, bahkan sangat menantang,” kata Ganesan.
Selangkah lebih maju dari keberlanjutan
Ganesan menyampaikan bahwa perusahaan yang dipimpinnya ingin selangkah lebih maju dari sekadar keberlanjutan. Untuk itu, Nestle pun menerapkan sebuah konsep yang disebut sebagai ‘Advancing Regenerative Food System’.
“Kami ingin membantu, melindungi, dan memulihkan melalui berbagai langkah keberlanjutan yang tidak akan pernah berhenti. Jadi, tidak hanya melindungi, tapi juga memperbarui dan memulihkan lingkungan. Ini bukan tujuan utama, namun bagian dari cara perusahaan bekerja, bagian dari prinsip kerja Nestle,” kata Ganesan.
Dilema yang muncul
Ganesan mengatakan bahwa ada dilema yang muncul dalam penerapan pengemasan, karena kemasan adalah hal penting yang sangat menentukan kualitas makanan dan minuman di Nestle. Sedangkan, kemasan yang menjaga kualitas makanan dengan baik, kebanyakan tidak ramah lingkungan.
“Kemasan begitu penting, tantangannya bagi perusahaan seperti Nestle adalah bahwa tanggung jawab tidak berhenti pada produk setelah dijual. Jadi, untuk mengatasinya, kami perlu mengembangkan kemasan yang membuat kualitas makanan tetap terjaga, namun tetap sustainable dan ramah lingkungan,” ujar Ganesan.
Riset dan pengembangan
Oleh karena itu, faktor riset dan pengembangan terkait kemasan produk-produk Nestle menjadi penting. Perusahaan pun mengalokasikan dua persen pendapatan secara global untuk riset dan pengembangan.
“Jadi para ilmuwan di Nestle Institut, fokus pada kemasan yang reliable dan reusable; penyederhanaan kemasan; dan reducing packaging. Dan ketika semua ini dikombinasikan, kami juga berupaya untuk menemukan solusi yang sesuai bagi negara seperti Indonesia, dengan Pendapatan Domestik Bruto per kapita saat ini mencapai sekitar US$3.800,” tutur Ganesan.
Dilema sedotan kertas
Salah satu tantangan besar adalah mahalnya harga material ramah lingkungan. “Indonesia adalah salah satu negara dengan polusi plastik terbesar di dunia, dan salah satunya dari sedotan plastik. Kini, Nestle tidak lagi pakai sedotan plastik, sejak 2021 dipastikan semua produk memakai sedotan kertas,” ucap Ganesan.
Namun, hal ini adalah bagian mudahnya. Bagian sulitnya, “sedotan kertas ini, tujuh kali lebih mahal daripada sedotan plastik. Apakah beban ini untuk perusahaan, saya rasa tidak,” kata Ganesan. “Saya yakin pada tahun-tahun berikutnya, harganya akan lebih murah. Namun memang ini tantangannya.”
Kerja sama dengan berbagai pihak
Ganesan menyebutkan bahwa upaya mengatasi pemanasan global adalah tanggung jawab semua pihak. Mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga bisnis atau perusahaan. “Sinergi dibutuhkan dan semua masalah akan dapat diselesaikan,” ucapnya.
Ia menyebutkan, kerja sama apik dengan berbagai pihak yang dilakukan Nestle selalu berhubungan dengan inovasi. Salah satu contohnya adalah pengembangan Biomass boiler. “Ini menggunakan gabah, dan di Jawa Barat banyak tanaman padi. Kami membelinya dari petani dan memasukkannya ke boiler. Hal ini bisa mengurangi biaya listrik konvensional dari PLN dan jadi sebuah upaya untuk beralih ke penggunaan energi baru terbarukan (EBT),” kata Ganesan.