Jakarta, FORTUNE - PT Chandra Asri Pacific (CAP) menghadapi penundaan dalam pembangunan pabrik baru yang akan memproduksi soda kaustik dan etilena diklorida (EDC). Hal ini disebabkan perusahaan belum memperoleh izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Direktur Chandra Asri, Edi Rivai, mengatakan bahwa permohonan izin sudah diajukan dua tahun lalu. Akan tetapi, dokumen tersebut belum diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Edi berharap pembangunan dapat dimulai pada Januari atau Februari tahun depan, yang merupakan penundaan dari rencana awal pada paruh kedua tahun ini.
"Kami telah memproses ini selama dua tahun, dan kami berharap prosesnya bisa dipercepat untuk menjaga momentum investasi," ujar Edi di pabrik Chandra Asri di Banten (18/11).
Ia juga mengusulkan agar proyek tersebut dimasukkan dalam pemantauan satuan tugas investasi di bawah Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM untuk mengurangi dampak dari konflik sosial di sekitar area proyek.
Pabrik akan dikelola PT CAA
Pabrik-pabrik tersebut, yang akan dikelola oleh anak perusahaan PT Chandra Asri Alkali (CAA), dirancang untuk memproduksi lebih dari 400.000 ton soda kaustik dan 500.000 ton EDC per tahun. Proyek ini membutuhkan investasi mencapai US$1 miliar atau setara Rp15triliun.
Pada tahun 2021, Chandra Asri mengumumkan rencana pembangunan kompleks pabrik senilai US$5 miliar bernama CAP2, yang akan dioperasikan oleh anak perusahaannya, PT Chandra Asri Perkasa.
Proyek tersebut bertujuan untuk menggandakan kapasitas produksi perusahaan menjadi 8 juta ton dari 4,2 juta ton pada saat itu, guna mengurangi ketergantungan industri lokal pada produk petrokimia impor. Namun, Edi menjelaskan bahwa perusahaan memutuskan untuk "mengonfigurasi ulang" CAP2 dengan memulai proyek yang lebih kecil, yaitu pabrik soda kaustik dan EDC.
"Alih-alih memulai dengan pabrik etilena besar, kami memilih untuk memulai dengan pabrik CAA, yang nantinya akan memanfaatkan hasil produksi pabrik etilena setelah dibangun. Sementara itu, kami akan memantau perkembangan situasi ekonomi dan geopolitik saat ini," katanya, menjelaskan.
Edi menyoroti bahwa kondisi industri petrokimia sedang tidak baik, dengan banyak perusahaan yang saat ini beroperasi dengan kerugian. Hal ini sebagian disebabkan oleh lonjakan produk impor yang membanjiri pasar, yang menurutnya seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah.
"[Produsen produk impor] masuk ke negara ini dan dengan cepat membangun operasi besar-besaran, yang sangat memengaruhi industri lokal. Dampaknya sangat terasa pada sektor tekstil, mengganggu baik industri hulu maupun hilirnya," ujarnya.