Jakarta, FORTUNE - Istilah green job mungkin belum banyak dikenal, tapi gaungnya mulai terdengar. Green job juga digadang-gadang akan booming di masa depan, tak hanya di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia.
Munculnya green job turut dipengaruhi isu perubahan iklim, dan telah menjadi diskusi hangat selama beberapa dekade dan dianggap semakin penting.
Tak mengherankan, sektor-sektor seperti energi terbarukan dan lingkungan hidup tumbuh pesat dan menciptakan lapangan kerja baru, sehingga kebutuhan sumber daya manusia terus meningkat.
Bahkan CEO Google dan Alphabet, Sundar Pichai, mengumumkan tahun lalu bahwa proyek terkait iklim akan menciptakan lebih dari 20.000 pekerjaan pada industri dan energi bersih pada 2025.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, misalnya, telah meluncurkan rencana baru untuk secara drastis mengurangi emisi gas rumah kaca Amerika Serikat dan menciptakan ‘jutaan pekerjaan bergaji tinggi’ untuk memerangi perubahan iklim. Pekerjaan jenis ini biasa dikenal dengan istilah green job.
Apa itu green job?
Banyak negara dan institusi internasional merilis definisi tentang green job. Meski kata-katanya mungkin berbeda, intinya tetap sama.
Coaction Indonesia—organisasi yang mendorong terjadinya transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan—menyerap definisi yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (ILO).
ILO mendefinisikan green job sebagai pekerjaan layak nan ramah lingkungan. Sektor pekerjaan ini beraneka ragam, mulai dari manufaktur dan konstruksi, energi terbarukan dan efisiensi energi, hingga pengendalian limbah.
Disebut green job lantaran merupakan hasil dari praktik ekonomi hijau (green economy), maka pekerjaan ini juga harus inklusif secara sosial.
Merujuk pada ILO, peneliti Coaction Indonesia, Siti Koiromah, memerinci lima tujuan green job, yaitu melindungi dan memulihkan ekosistem, meningkatkan efisiensi energi dan bahan baku, meminimalkan limbah dan polusi dari proses produksi, membatasi emisi gas rumah kaca, dan mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim.
Mengapa green job semakin dibutuhkan dan berpotensi menjadi pekerjaan masa depan?
Kesadaran masyarakat tentang isu perubahan iklim meningkat menjadi alasan utama. Hal ini mendorong tumbuhnya usaha kecil yang juga berkontribusi terhadap lingkungan. Contohnya, usaha yang memanfaatkan limbah, seperti mendaur ulang kemasan sabun menjadi tas atau memproduksi kertas daur ulang.
Koiromah menyoroti kian banyaknya perusahaan yang memiliki divisi sustainability. Itu berarti perusahaan tersebut sudah memiliki pandangan ke depan untuk terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan.
“Perusahaan yang menerapkan prinsip keberlanjutan juga mempunyai nilai plus. Mereka bisa meyakinkan konsumen bahwa operasional perusahaan mereka meminimalkan perusakan terhadap lingkungan. Limbah juga menjadi sangat minimal. Bisa jadi akan semakin banyak industri yang akan menerapkan prinsip sustainability seperti itu,” kata Koiromah dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (11/11).
Di samping itu, green job diminati karena menyebar di banyak bidang. Pekerjaan apa pun bisa diadaptasi menjadi green job. Dia mencontohkan, seorang pendongeng sekali pun bisa masuk kategori green job jika cerita yang dibawakan mengandung unsur yang berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan.
“Misalnya, ia bercerita tentang ibu yang dengan cara-cara unik mengingatkan anaknya agar mematikan lampu ketika tidak digunakan,” ujarnya.
Kebutuhan green job terdorong ekonomi hijau
Kajian dari World Economy Forum: Future of Jobs pada 2016 mengungkap bahwa sektor energi dan berbagai industri di seluruh dunia mulai beralih ke ekonomi hijau (green economy). Hal ini terjadi karena ada isu tentang perubahan iklim dan kekhawatiran dunia akan ketersediaan sumber daya alam.
Salah satu yang mulai melesat adalah popularitas mobil listrik sebagai kendaraan yang ramah lingkungan. Sejumlah perusahaan raksasa ramai-ramai lantas memproduksi mobil listrik. Tak ketinggalan, ada pula yang membuat teknologi daur ulang baterai lithium-ion untuk digunakan kembali pada motor atau mobil listrik, atau membangun instalasi untuk charging station. Upaya ini turut membuka peluang terciptanya green job di sektor transportasi.
Terciptanya jenis pekerjaan baru
Coaction Indonesia mencoba menghitung kebutuhan tenaga kerja langsung pada energi terbarukan berdasarkan kapasitas terpasang dalam target RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Koiromah menguraikan, pada 2030 akan dibutuhkan lebih dari 430 ribu tenaga kerja langsung, yaitu tenaga kerja yang terlibat langsung dalam proses pembangunan pembangkit untuk menghasilkan energi listrik dengan energi terbarukan.
Beberapa jenis pekerjaan yang dibutuhkan, antara lain untuk studi kelayakan bisnis, desain pembangkit, teknisi, petugas operasional dan perawatan, serta pekerja yang membangun pembangkit. Dari pembangunan itu, tumbuh juga pekerjaan yang tidak langsung dan yang terinduksi, seperti sales engineer, analis, legal, dan konsultan.
“Di sektor energi, green job akan semakin booming. Jumlah tenaga kerja yang berkaitan dengan fosil akan menurun. Sebab, banyak perusahaan akan beralih ke energi terbarukan. Maka, pada 2050 nanti, diperkirakan akan ada lebih dari 1 juta green job yang tercipta dari sektor energi. Dan, itu merupakan pekerjaan langsung. Belum lagi pekerjaan tidak langsung dan pekerjaan yang terinduksi,” kata Koiromah.
Ia menjelaskan, nantinya akan ada pekerjaan yang benar-benar hilang karena industrinya akan lenyap. Contohnya, para tenaga kerja di industri plastik kemungkinan tidak dibutuhkan jika penggunaan plastik dilarang sepenuhnya. Di samping itu, ketika nanti batu bara tak boleh lagi digunakan, pekerjaan yang terkait penambangan batu bara juga akan hilang. Sebaliknya, akan muncul sederet pekerjaan baru yang tercipta, ketika kita memasuki ekonomi hijau.
Koiromah mengatakan, banyak peluang untuk masuk ke green job tanpa melihat generasinya. Generasi milenial, Gen Z, atau jajaran direktur bisa merambah ke green job. Yang perlu dilakukan kemudian adalah menambah kapasitas diri agar memiliki skill yang tepat.
“Karena green job berarti melakukan praktik yang memperhatikan kelestarian lingkungan, orang yang melakoni pekerjaan itu perlu memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup, antara lain tentang perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, regulasi terkait lingkungan, cara mengurangi limbah, juga sistem daur ulang yang bisa diaplikasikan di perusahaan,” katanya.
Akan tetapi, kata dia, lebih baik lagi jika dalam bekerja tetap mempraktikkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Misalnya, mengurangi penggunaan kertas dan memakai listrik seperlunya saja.