Jakarta, FORTUNE - Para CEO teknologi muali mengubah sikap mereka terkait mandat Return to Office (RTO) dan penerapan budaya kerja dari kantor atau Work from Office (WfO). Saat ini, hanya 3 persen yang ingin karyawan kembali bekerja penuh waktu di kantor, mengutip laporan Fortune.com.
Dalam dua tahun terakhir, banyak Perusahaan Teknologi mencoba memanggil kembali pekerja ke kantor dengan ancaman PHK, termasuk Zoom yang kembali bekerja secara langsung tahun lalu. Namun, saat ini para bos teknologi tampaknya mulai menyerah melawan suara pekerja yang mayoritas menginginkan bekerja dari rumah atau fleksibel.
Banyak perusahaan kini memberikan kebebasan kepada karyawan untuk memilih kapan dan di mana mereka bekerja. Pada tahun 2023, hanya 38 persen perusahaan teknologi yang menerapkan model "employee’s choice".
Kini, persentase tersebut melonjak menjadi 56 persen dan menjadikannya kebijakan paling populer di antara perusahaan teknologi. Sebaliknya, hanya 18 persen perusahaan yang menetapkan hari-hari tertentu karyawan harus bekerja dari kantor dengan "model hibrida terstruktur".
WfO sudah tidak populer
Pada 2020, perusahaan seperti Meta, Twitter (sekarang X), Shopify, dan lainnya menyatakan akan memanfaatkan metode WfO ini secara permanen walaupun sebelumnya diklaim cara kerja remote working efektif.
Mark Zuckerberg, CEO Meta, mengklaim bahwa setengah dari karyawannya akan bekerja dari jarak jauh dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Namun, tahun lalu Zuckerberg mengumumkan bahwa 2023 akan menjadi "tahun efisiensi" dan meminta pekerja kembali ke kantor demi produktivitas, sambil menakut-nakuti staf dengan PHK massal
Hanya dua tahun setelah menyatakan bahwa 60 persen tenaga kerjanya akan bekerja dari jarak jauh, Dell kini mengharuskan pekerja untuk datang ke kantor tiga hari seminggu jika mereka ingin mendapatkan promosi. Google, Salesforce, dan Amazon juga termasuk di antara perusahaan teknologi besar yang memperketat kebijakan WfO, meskipun menghadapi perlawanan dari pekerja.
KPMG mensurvei CEO AS dari perusahaan dengan pendapatan setidaknya US$500 juta dan menemukan bahwa hanya sepertiga yang mengharapkan kembalinya ke kantor secara penuh dalam tiga tahun ke depan. Ini menjadi perubahan besar yang bertolak belakang dari sikap mereka tahun lalu, ketika 62 persen CEO yang disurvei memperkirakan bahwa bekerja dari rumah akan berakhir pada tahun 2026.
Kebijakan kantor yang kaku membuat pekerja stres
Kebijakan kantor yang kaku tidak diterima baik oleh pekerja dan para pemimpin mungkin mengalami lebih banyak perlawanan daripada yang mereka perkirakan.
Amazon adalah contoh paling nyata tentang betapa buruknya "pertempuran" terkait pemaksaan kebijakan WfO. Sekitar 30.000 karyawan menandatangani petisi yang memprotes mandat di kantor, dan lebih dari 1.800 berjanji untuk keluar dari pekerjaan mereka sebagai bentuk protes.
Raksasa teknologi itu masih mengeluh bahwa pekerja menghindari mandat bekerja tiga hari di kantor, lebih dari satu tahun setelah diumumkan.
Co-Founder dan CEO Dropbox, Drew Houston, menyimpulkan situasi perlawanan karyawan yang menolak WfO. “Mereka [para CEO] terus menekan tombol kembali ke 2019, dan jelas itu tidak berhasil," kata Houston.
Para CEO perusahaan teknologi juga menyimpulkan mandat untuk WfO tak lagi populer dan membawa dampak jangka panjang yang kurang ideal. Banyak pekerja stres dan risiko kehilangan talenta jangka panjang tentu cepat atau lambat akan dihadapi perusahaan.
Menurut penelitian terbaru Upwork, perusahaan dengan kebijakan kembali ke kantor mengalami penurunan jumlah pekerja perempuan yang signifikan. Pengaturan kerja fleksibel atau Work from Anywhere (WfA), terbukti hampir selalu menjadi rencana terbaik.
Perusahaan yang gagal mempertimbangkan keinginan pekerja untuk fleksibilitas harus membayar mahal. Riset Upwork mengungkap 63 persen pimpinan kehilangan talenta perempuan karena memaksa WfO.
Tak hanya itu, menurut sebuah jajak pendapat yang digelar FlexJobs terhadap lebih dari 8.400 pekerja di Amerika, hampir dua per tiga responden yang disurvei mengaku mereka rela upahnya dipotong demi bisa bekerja dari jarak jauh. Sedangkan, tujuh belas persen responden berani mengorbankan 20 persen gajinya, dan satu dari 10 responden bahkan bersedia melepas lebih dari 20 persen pendapatan.