Riset: Karyawan Ingin Hybrid Working Demi Keseimbangan Hidup

Bekerja fleksibel dinilai lebih efektif dari di kantor.

Riset: Karyawan Ingin Hybrid Working Demi Keseimbangan Hidup
Ilustrasi burnout dalam kerja. (Pixabay/Lukas Bieri)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Pascapandemi perusahaan-perusahaan berbondong-bondong untuk mengembalikan karyawan ke kantor, padahal tak semua jenis pekerjaan cocok dilakukan di kantor. Hal ini juga memperjelas adanya dua kutub di ranah pemberi kerja, kerja dari rumah dan kerja jarak jauh akan tetap ada. Para pimpinan pun nampaknya mulai menyerah dalam tarik-menarik ini.

Fakta tersebut diungkap dalam laporan Talent Trends 2024 dari perusahaan rekrutmen profesional Michael Page. Salah satu temuan ini menemukan bahwa pemberi kerja semakin mengakui bahwa pengaturan kerja fleksibel dan kerja dari rumah adalah inti dari apa yang diinginkan karyawan dari pekerjaan mereka. Demikian dilansir dari Businesstech.co.za pada Selasa (16/7).

Laporan ini didasarkan pada survei global terhadap 50.000 responden di 37 negara, termasuk Afrika Selatan, serta untuk mengukur bagaimana lanskap pekerjaan telah bergeser sejauh tahun ini dan apa yang mendorong tren talenta dalam industri profesional. Apa lagi temuan lainnya?

53% karyawan gelisah bekerja di kantor dan ingin pindah

Dok. michael page

Laporan Talent Trends 2024 mengungkap tren mengkhawatirkan yang muncul adalah karyawan semakin gelisah dan tidak puas dalam posisi mereka, menunjukkan kesediaan untuk berpindah pekerjaan. Survei menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (53 persen) akan aktif mencari pekerjaan dalam 6 bulan ke depan.

Salah satu pendorong terbesar di balik ini adalah gaji. Sekitar sepertiga dari mereka yang mengatakan mereka mencari peran baru menganggap gaji yang lebih tinggi sebagai faktor motivasi utama di balik perpindahan ini. Ini juga menjadi salah satu prioritas utama saat menerima posisi baru, tulis laporan Michael Page.

Namun, keseimbangan kerja-hidup dan jam kerja fleksibel kini juga menjadi faktor kunci, menunjukkan bahwa pekerja semakin menginginkan otonomi yang lebih besar. Dalam survei tahun 2023, sekitar 20 persen pemberi kerja melihat pengaturan kerja hibrida/fleksibel dan jam kerja fleksibel sebagai persyaratan rekrutmen inti. Pada tahun 2024, angka ini naik menjadi hampir 30 persen, menunjukkan bahwa bos mulai menyadari betapa seriusnya keinginan pekerja.

35% karyawan merasa terpaksa kerja di kantor

Meskipun demikian, tarik-menarik untuk mengembalikan pekerja ke kantor terus berlanjut. Sebanyak 37 persen karyawan yang bekerja dalam beberapa jenis pengaturan hibrida melaporkan harus lebih sering masuk kantor pada tahun 2024. Sekitar 25 persen mengatakan mereka lebih sering bekerja dari jarak jauh, dan 35 persen mengatakan pengaturan mereka tidak berubah.

Secara keseluruhan, ini menunjukkan "kemenangan" bagi para pekerja dari rumah. Namun, Michael Page menemukan bahwa mereka yang lebih sering bekerja di kantor tidak melakukannya karena mereka mau. Kebanyakan menyebut perubahan kebijakan perusahaan dan persyaratan kerja yang lebih ketat sebagai alasan utama.

Keuntungan kerja di kantor yang sering disebut-sebut—interaksi tatap muka, pertumbuhan dan pengembangan keterampilan di dalam kantor, serta bersosialisasi dengan rekan kerja—jauh di bawah daftar alasan orang masuk kantor.

"Banyak pemberi kerja berjuang untuk menemukan model hibrida yang bekerja untuk semua pihak, sambil menyadari bahwa bagi karyawan, keseimbangan kerja-hidup bukanlah ‘sekadar keinginan’, tetapi ‘kebutuhan’," kata perusahaan rekrutmen tersebut.

Pencari kerja mengharapkan praktik kerja hibrida dijelaskan dengan jelas. Ini diprioritaskan dalam pencarian kerja dan saat mempertimbangkan apakah akan tetap di posisi saat ini. Michael Page memperingatkan bahwa studi ini menunjukkan bahwa mencoba memaksakan masalah ini dengan memberlakukan kebijakan kehadiran baru dapat menyebabkan rusaknya struktur organisasi.

57% karyawan menolak promosi demi fleksibilitas

Studi ini juga menunjukkan bahwa, secara universal, karyawan semakin bersedia untuk melewatkan promosi demi mempertahankan fleksibilitas. Ini terlihat di seluruh kelompok usia (20-50+) dan wilayah geografis (termasuk Afrika Selatan) di mana antara 33 persen hingga 57 persen pekerja mengatakan mereka akan menolak promosi agar mereka bisa menjaga keseimbangan kerja-hidup yang lebih sehat.

Karyawan kini mengharapkan dapat mengontrol pola kerja mereka sendiri hingga batas tertentu, dan tantangan terhadap otonomi ini menyebabkan ketidakpuasan di tempat kerja.

"Implikasinya jelas: keinginan untuk keseimbangan mengatasi prioritas tradisional seperti keinginan untuk kemajuan karier bahkan di antara pekerja junior," kata Michael Page.

Fakta riset ini menyoroti sejauh mana pola kerja telah berkembang dalam waktu yang relatif singkat. "Kesempatan untuk bekerja secara fleksibel tidak lagi menjadi fasilitas opsional. Ini adalah sesuatu yang diharapkan oleh karyawan," ujarnya, menambahkan.

Magazine

SEE MORE>
Change the World 2024
Edisi Desember 2024
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024

Most Popular

OJK Digeledah KPK, Juru Bicara Buka Suara
Daftar Saham Lo Kheng Hong, Sektor Keuangan hingga Energi!
Siapa Pemilik Sritex? Ini Profil dan Perusahaannya
Kinerja Smartfren Memburuk, Bosnya Ungkap Persaingan yang Makin Berat
Sritex Resmi Pailit Usai Kasasi Ditolak, Berutang Rp26 T
Sritex Siap Ajukan Peninjauan Kembali (PK), Belum Menyerah