Jakarta, FORTUNE - Pascapandemi Covid-19 banyak perusahaan memberlakukan aturan baru dengan kembali mewajibkan karyawan kembali bekerja di kantor. Namun, Budaya Kerja yang kurang fleksibel seperti hybrid working hingga kini masih menjadi harapan karyawan.
Menariknya, bukan hanya karyawan saja yang enggan berangkat ke kantor, tetapi para leader juga merasakan demikian terutama pascaliburan panjang tahun baru atau usai mengajak anak atau keluarga mereka pergi berlibur.
Mereka juga ingin punya waktu rehat sejenak dengan bersama keluarga di tengah pekerjaan yang hanya mungkin bisa dilakukan dengan sistem Work From Home atau Work from Anywhere.
Melansir Fortune.com, para manajer tidak begitu antusias kembali ke kantor seperti yang mungkin terlihat. Meskipun berada di posisi yang lebih tinggi, banyak dari mereka sebenarnya lebih mendukung kerja jarak jauh (remote working) dan hybrid dibandingkan dengan karyawan mereka.
Fakta ini terungkap dalam survei dari perusahaan perangkat lunak Checkr yang melibatkan 3.000 pekerja dan manajer di Amerika.
Mayoritas manajer (68 persen) mengatakan ingin kerja jarak jauh terus berlanjut di tahun baru, sementara hanya 48 persen karyawan yang merasakan hal yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa narasi tentang perdebatan kembali ke kantor mungkin salah penilaian.
Dalam perdebatan selama bertahun-tahun antara eksekutif yang mendukung WfO dan cara kerja baru, kebanyakan hanya para eksekutif tingkat atas yang mendorong karyawan kembali ke kantor, dengan alasan lebih memantau pekerja mereka.
Nyatanya banyak instrumen yang bisa digunakan untuk memantau pekerjaan, lebih dari kewajiban mengisi absen.
Hanya 21% eksekutif yang mendukung WfO
Para eksekutif menghadapi perlawanan dari banyak karyawan yang ingin mempertahankan fleksibilitas, dengan pekerja muda sebagai wajah dari perlawanan tersebut.
Sementara itu, manajer dengan posisi menengah yang menerapkan mandat tersebut terjebak di tengah situasi, bahkan cenderung kelelahan karena di satu sisi harus memberi contoh sehingga tidak punya pilihan.
Survei baru juga menunjukkan bahwa kelompok yang mendukung kerja di kantor sebenarnya lebih muda dari yang terlihat. Sebagian besar Gen Z merasa bahwa bekerja secara langsung lebih produktif atau menawarkan lebih banyak peluang pengembangan karier seperti networking.
Survei lain juga menunjukkan bahwa para bos tidak menyukai perubahan dari remote working dan kerja hybrid. Hanya 21 persen eksekutif dan non-eksekutif yang ingin kembali ke kantor, menurut Survei Pulse Forum Masa Depan April 2022.
Para "ikan besar" juga ingin bekerja dari rumah; penelitian dari McKinsey menemukan bahwa sepertiga dari karyawan yang berpenghasilan lebih dari US$150,000 akan berhenti jika mereka harus kembali ke kantor untuk WfO penuh.
Tampaknya manajemen juga menginginkan fleksibilitas, alih alih mengikuti aturan para eksekutif yang kaku. Survei Checkr menemukan bahwa 52 persen pekerja di tingkat manajemen lebih memilih empat hari kerja seminggu daripada kenaikan gaji di tahun 2024. Sementara ada 38 persen karyawan yang juga mengaharapkan waktu kerja serupa.
Jika para manajer tidak ingin pergi ke kantor lebih dari karyawan mereka, apa yang menjelaskan ketidakcocokan antara perasaan mereka dan mandat yang diberlakukan?
Bisa jadi para manajer menengah hanya menjalankan preferensi bos mereka, atau bahwa CEO tunduk pada kehendak dewan mereka.
Namun mungkin memantau karyawan lebih penting daripada keinginan mereka untuk bekerja dari rumah.
Ketika Checkr bertanya apakah manajer ingin kembali ke kantor karena pengawasan pekerja lebih mudah secara langsung, sebagian besar manajer (70 persen) setuju dengan pernyataan tersebut, sementara 63 persen dari semua karyawan merasakan hal yang sama.
Meskipun mereka setuju dengan karyawan, bos tampaknya skeptis terhadap mereka yang sangat anti-kantor. Lebih dari setengah (56 persen) manajer menganggap sentimen anti-kembali ke kantor sebagai "bendera merah," menurut Checkr. Hal itu juga berlaku pada 38 persen karyawan yang merasakan hal yang sama.
Bagaimanapun, tampaknya para bos dan karyawan bisa menyelaraskan dalam menentukan jam kerja. Namun, masih belum jelas apakah hal itu akan mengubah keadaan jika para eksekutif masih berpikiran kuno dengan menerapkan WfO.