Jakarta, FORTUNE- Harga minyak naik ke level US$89 per barel setelah serangan Hamas ke Israel. Konflik tersebut memicu ketegangan di Timur Tengah serta meningkatkan kekhawatiran yang dapat mempengaruhi produksi minyak dunia milik para negara produsen.
Dikutip dari Financial Times, harga minyak acuan internasional, Brent melonjak 5,2 persen pada awal perdagangan di Asia, dari yang sebelumnya stabil dan diperdagangkan lebih tinggi di level US$87,83. Sedangkan harga minyak WTI naik 4 persen menjadi US$86,07 per barel.
Kenaikan harga ini kembali membuat khawatir sebagian kalangan. Pasalnya, jika harga minyak naik dalam waktu lama, maka akan menyebabkan inflasi di berbagai belahan dunia.
Pemangkasan pasokan oleh produsen utama, yakni Arab Saudi dan Rusia sebelumnya mendorong Brent di atas US$97 per barel pada akhir September.
Sedangkan bulan ini, WTI dan Brent sempat turun sekitar US$10 per barel sebelum serangan Israel – karena kekhawatiran suku bunga tinggi serta perlambatan pertumbuhan ekonomi yang mengaburkan prospek permintaan.
Dugaan Keterlibatan Iran
Israel bukan produsen minyak, namun terdapat kekhawatiran konflik ini dapat memicu ketidakpastian yang lebih luas di wilayah tersebut dan menyebabkan penerapan sanksi yang lebih ketat terhadap minyak dari Iran, menyusul dugaan kementerian luar negeri Iran mendukung aksi Hamas sebagai tindakan membela diri.
Di lain pihak, aksi Israel menghentikan produksi di ladang gas lepas pantai Tamar, yang menyebabkan harga gas berjangka Eropa naik sekitar 13 persen semakin menambah ketidakpastian.
Konflik tersebut juga dapat mempersulit upaya Amerika Serikat (AS) sebagai perantara kesepakatan dengan Arab Saudi demi menormalisasi hubungan dengan Israel, yang dapat memengaruhi kesediaan negara kerjaam tersebut untuk meningkatkan produksi minyaknya.
“Pemerintah Israel bersumpah akan memberikan tanggapan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sulit membayangkan bagaimana perundingan normalisasi Saudi dapat berjalan sejajar dengan serangan balasan militer yang ganas,” kata Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets.
Gedung Putih telah mengadopsi “pendekatan lunak” dalam menerapkan sanksi terhadap produksi minyak Iran, tambahnya, namun hal ini akan “sulit” dipertahankan jika Israel menuduh Teheran memberikan dukungan kepada Hamas.
Pierre Andurand, manajer dana lindung nilai yang berspesialisasi dalam perdagangan energi, mengatakan meskipun ancaman terhadap pasokan tidak terlalu besar, pasar bisa semakin ketat.
“Selama enam bulan terakhir kita telah melihat peningkatan yang sangat besar dalam pasokan Iran karena lemahnya penegakan sanksi,” tulisnya di situs media sosial X, sebelumnya Twitter. “Ada kemungkinan besar pemerintah AS akan mulai menerapkan sanksi yang lebih ketat terhadap ekspor minyak Iran.”
Peningkatan tersebut menyusul laporan di The Wall Street Journal yang mengutip klaim anggota senior Hamas bahwa para perwira Garda Revolusi Islam Iran telah membantu merencanakan serangan mendadak kelompok militan tersebut terhadap Israel.
Para pejabat AS belum mengkonfirmasi hubungan tersebut. Namun, pada hari Minggu Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada CNN bahwa “kami belum melihat bukti bahwa Iran mengarahkan atau berada di balik serangan khusus ini”.
Vivek Dhar, analis komoditas pertambangan dan energi di Commonwealth Bank of Australia, mengungkapkan kekhawatirannya pada pasokan minyak dan ekspor dari Iran.
Dhar mengatakan, konfirmasi AS atas keterlibatan Garda Revolusi dalam serangan itu akan mendorong sanksi yang lebih tegas terhadap Iran. Hal itu bisa mendorong Brent bergerak di atas US$100 per barel.
“Jika kita melihat AS menyalahkan Iran atas hal ini, kita bisa melihat peningkatan ekspor minyak Iran pada tahun ini menjadi terbalik,” kata Dhar. “Dampaknya terhadap pasar adalah sekitar 0,5 hingga 1 persen dari pasokan global – dan ini merupakan hal yang cukup besar.”
Dampak serangan terhadap pergerakan saham
Serangan yang terjadi pada akhir pekan lalu memicu penurunan saham dan aset-aset lainnya. Saham-saham Eropa melemah, dengan indeks Stoxx Europe 600 turun 0,1 persen.
Dax Jerman kehilangan 0,7 persen. Dolar naik 0,5 persen terhadap sekeranjang mata uang sejenis.
Harga emas naik 1 persen menjadi US$1,850 per troy ounce, rebound dari level terendah dalam tujuh bulan. Investor bergegas membeli logam mulia di tengah ketidakpastian.