Jakarta, FORTUNE - Ekonomi Thailand terancam menghadapi pergolakkan imbas tutupnya sejumlah Pabrik besar dan impor produk murah Tiongkok.
Dilansir dari Reuters, negara berpenduduk 66 juta jiwa ini menjadi pusat perhatian dan mendapat pujian atas visi industrinya, ketika produsen kendaraan listrik Tiongkok, BYD, membuka pabrik pertamanya di Asia Tenggara di Thailand awal bulan ini.
Namun, capaian itu juga bertolak belakang dengan pengumuman produsen mobil asal Jepang, Suzuki Motor yang beberapa minggu sebelumnya menyatakan rencana penutupan pabrik di Thailand yang memproduksi sebanyak 60.000 mobil per tahun.
Langkah yang diambil produsen mobil Jepang ini mencerminkan langkah serupa dari sejumlah perusahaan lain di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara, yang menanggung beban impor murah dari Tiongkok. Selain itu, daya saing industri menurun akibat berbagai faktor, termasuk kenaikan harga energi dan angkatan kerja yang menua.
Thailand menghadapi hampir 2.000 penutupan pabrik pada tahun lalu, sehingga berdampak buruk pada sektor manufaktur yang menyumbang hampir seperempat produk domestik bruto (PDB).
Hal ini membebani perekonomian senilai US$500 miliar dan pekerja seperti Chanpen Suetrong. Pria berusia 54 tahun ini menghabiskan hampir dua dekade di V.M.C. Pabrik Kaca Pengaman di provinsi Samut Prakan tengah, memeriksa produk Otomotif dan bangunan yang keluar dari jalur produksi.
Chanpen mengatakan, ia menerima pemberitahuan mendadak mengenai penutupan pabrik pada April lalu yang menyebabkan dia kehilangan pekerjaan.
"Saya tidak punya tabungan. Saya punya utang ratusan ribu baht," katanya. “Saya sudah tua, di mana saya akan bekerja? Siapa yang akan mempekerjakan saya?”
Sementara itu, perusahaan menolak berkomentar mengenai alasan penutupan pabrik. Keterpurukan sektor manufaktur telah membuat Perdana Menteri Srettha Thavisin, yang resmi menjabat tahun lalu, kesulitan memenuhi janjinya untuk meningkatkan rata-rata pertumbuhan PDB tahunan negara itu menjadi 5 persen selama masa jabatannya, naik dari 1,73 persen dalam dekade terakhir.
“Sektor industri telah merosot dan pemanfaatan kapasitas turun di bawah 60 persen,” kata Srettha kepada parlemen pekan lalu. “Jelas bahwa industri perlu beradaptasi.”
Ketua Badan perencanaan Negara Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional, Supavud Saicheua, mengatakan model ekonomi Thailand yang selama puluhan tahun didorong oleh manufaktur mulai hancur.
“Tiongkok sekarang mencoba mengekspor ke kiri, kanan, dan tengah. Impor murah itu benar-benar menimbulkan masalah,” kata Supavud kepada Reuters.
Thailand menurutnya harus berubah. Alasannya, bahwa Thailand harus kembali fokus pada produksi produk-produk yang tidak diekspor oleh Tiongkok sambil memperkuat sektor pertaniannya. "Tidak ada jika atau tetapi."
Adaptasi atau tutup
Penutupan pabrik antara periode Juli 2023 dan Juni 2024 meningkat 40 persen dibandingkan 12 bulan sebelumnya, menurut data Departemen Pekerjaan Industri. Akibatnya, tingkat kehilangan pekerjaan melonjak sebesar 80 persen pada periode yang sama, dengan lebih dari 51.500 pekerja kehilangan pekerjaan, menurut data.
Jumlah pembukaan pabrik baru juga melambat. Banyak pabrik-pabrik besar tutup, sementara pembukaan pabrik baru justru berasal dari yang berskala kecil, kata divisi riset Kiatnakin Phatra Bank dalam sebuah catatan pada Juni lalu.
Dampaknya telah menyebar ke industri-industri yang menjadi penggerak utama perekonomian, termasuk industri otomotif, katanya. Sementara itu, produsen kecil sedang bergulat dengan kenaikan biaya produksi akibat kenaikan harga energi dan upah yang relatif tinggi, kata Sangchai Theerakulwanich, ketua Federasi UKM Thailand.
“Kami bersaing dengan bisnis multinasional,” katanya. “Produsen yang tidak bisa beradaptasi dengan cepat harus menutup bisnisnya atau beralih ke bisnis lain.”
Mulai bulan ini, Thailand memungut pajak pertambahan nilai sebesar 7 persen atas barang-barang impor murah dengan harga kurang dari 1.500 baht Thailand (US$41), sebagian besar berasal dari Tiongkok, namun produk-produk tersebut masih dibebaskan dari bea masuk.
Wakil ketua Federasi Industri Thailand, Nava Chantanasurakon, mengatakan asosiasi telah meminta pemerintah untuk mempertimbangkan langkah-langkah untuk mencegah penghindaran tarif di tengah perang perdagangan AS-Tiongkok dan tingginya hambatan terhadap beberapa barang Tiongkok di wilayah lain.
Perekonomian Thailand diperkirakan hanya akan tumbuh sekitar 2,5 persen pada tahun ini - salah satu faktor yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Thailand tidak puas dengan kinerja Perdana Menteri Srettha.
Srettha berargumentasi bahwa skema pemberian dana sebesar 500 miliar baht yang kontroversial dan tertunda serta menuai banyak kritik – termasuk dari bank sentral – merupakan hal yang penting: "Ini akan menjadi obat yang ampuh untuk menghidupkan kembali perekonomian."