Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) membuka kemungkinan menghentikan penjualan minyak goreng di gerai ritel di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih terdapat tunggakan pembayaran kebijakan penggantian selisih harga jual dengan harga keekonomian (rafaksi) minyak goreng dari pemerintah kepada pengusaha senilai Rp300 miliar.
Ketua Umum APRINDO, Roy N. Mandey mengatakan sudah satu tahun lebih pembayaran rafaksi minyak goreng ini belum diselesaikan. Dalam kurun waktu tersebut, pengusaha ritel sudah melakukan audiensi secara formal maupun informal dengan Kementerian Perdagangan, BPDKS (Badan Penyelenggara Dana Perkebunan Kelapa Sawit), Kantor Sekretariat Presiden dan menyampaikan pada Wakil Rakyat pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR RI.
Namun, hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil positif maupun informasi mengenai proses penyelesaian dan kepastian pembayaran rafaksi minyak goreng.
Aprindo bahkan telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo 27 Maret lalu guna mendapat kepastian penggantian. "Kami berharap, presiden memberikan solusi konkrit terkait proses penyelesaiannya dan kepastian pembayaran rafaksi minyak goreng satu harga periode 19-31 Januari 2022 sesuai instruksi Permendag 3/2022, tertanggal 18 Januari 2022," kata Roy dalam keterangannya, Kamis (13/4).
Opsi menyetop pengadaan dari pemasok dan produsen
Data Aprindo per 31 Januari 2022 mencatat, tagihan rafaksi minyak goreng dari peritel jejaring nasional dan lokal seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari Rp300 miliar. Angka ini terbilang besar, di tengah bisnis ritel yang saat ini masih belum pulih seluruhnya setelah dihantam pandemi.
Oleh sebab itu, pengusaha berharap pemerintah bisa memberi perhatian akan sengkarut pembayaran rafaksi minyak goreng ini.
Aprindo sedang menginisiasi berbagai opsi saat rafaksi ini belum dibayarkan juga oleh produsen minyak goreng berdasarkan pembayaran dari BPDPKS yang sumber dananya bukan dari alokasi APBN melainkan bersumber dari pungutan Ekspor Minyak Sawit Mentah (CPO) yang disetorkan pelaku usaha CPO kepada BPDPKS.
"Opsi tersebut di antaranya adalah menghentikan pembelian atau pengadaan minyak goreng dari produsen atau pemasok minyak goreng, dalam waktu dekat,” katanya.
Ramadan dan pemulihan daya beli
Di sisi lain, Roy mengatakan, ramadan setelah pasca pandemi tahun ini merupakan momentum bagi peritel modern untuk meningkatkan produktivitasnya sebagai lokasi
terbentuknya konsumsi rumah tangga sebagai kontributor PDB (pertumbuhan produk domestik bruto) dan ekonomi Indonesia.
Pada periode tersebut, banyak konsumen berbelanja memenuhi segala kebutuhan pokok dengan harga yang stabil dengan ketersediaan barang yang cukup, menjelang puncak HBKN (hari besar keagamaan nasional) di sejumlah gerai ritel.
Aprindo memperkirakan kenaikan penjualan di bulan ramadan tahun ini mencapai 10-15 persen dari tahun lalu, dan perlu didukung oleh seluruh stakeholders.
"Perlu diingat bahwa pemulihan sektor ritel modern selain mengkontribusi peningkatan konsumsi rumah tangga,juga menjadi sektor peningkatan investasi, penyerap tenaga kerja yang signifikan, kontributor pajak pusat dan daerah," katanya.
Dengan demikian, aktivitas belanja ritel menurutnya akan berdampak langsung sekaligus menjadi pendukung perekonomian Indonesia.