Jakarta, FORTUNE – PT Adaro Energy Indonesia Tbk belum berniat meninggalkan bisnis pertambangan batu bara. Sambil terus memproduksi komoditas berbasis fosil tersebut, Adaro berfokus mengembangkan teknologi untuk menekan emisi karbon pada proses bisnisnya.
“Dalam hal ini tranformasi Adaro berbeda dalam pengertian bahwa kita mengembangkan mineral dan energi untuk masuk usaha yang baru, tapi yang lama tidak ditingggalkan,” kata Direktur Adaro Energy Indonesia, Mohammad Syah Indra Aman, dalam Public Expose, Senin (12/9).
Indra mengatakan perusahaannya menyadari dampak iklim yang ditimbulkan dari proses bisnisnya. Oleh karena itu, Adaro menugaskan anak usahanya, Adaro Land, untuk mengembangkan proyek karbon. Mulai dari tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan (pemenuhan peralatan penunjang dan pelaksanaan kegiatan), sampai dengan tahapan komersialisasi proyek karbon.
“Dengan harapan, jika kita mendapatkan carbon credit, ini dapat kita digunakan untuk mengoffset carbon dari usaha-usaha tambang kita yang ada sekarang ini,” ujarnya.
Lalu aksi perseroan lainnya adalah, menerapkan penambangan mineral yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan energi hijau. “Lalu processing juga diperhatikan dengan menggunakan energi hijau, sehingga diharapkan produk yang dihasilkan juga produk yang hijau,” katanya.
Sebelumnya pemberi pinjaman terbesar Singapura, DBS, mempertebal komitmennya untuk menghentikan pendanaan ke sektor batu bara, termasuk Adaro Energy. Upaya itu menyusul langkah serupa yang diumumkan perbankan yang berbasis di London, Inggris, Standard Chartered.
DBS menghentikan pendanaan proyek batu bara Adaro sebagai bagian dari komitmennya terhadap perubahan iklim. Bank itu menyatakan tidak berniat memperbarui pendanaan jika batu bara masih mendominasi bisnis Adaro. DBS berkomitmen untuk mengurangi eksposur batu bara sampai dengan nol pada 2039.
Optimistis tutup 2022 dengan kinerja baik
Kendati ada penarikan pendanan, Adaro tetap melanjutkan bisnis batu baranya. Perusahaan masih akan menjalankan bisnis sesuai dengan panduan 2022 yang telah ditetapkan, dengan target produksi batu bara 58–60 juta ton.
“Kami akan fokus pada yang bisa kami kontrol, dan apa yang bisa disiapkan di lapangan, seperti infrastruktur dan alat-alat produksi yang cukup agar dapat mencapai target,” kata Chief Financial Officer Adaro Energy, Lie Luckman.
Menurutnya, ada hal penting yang dapat meningkatkan kinerja Adaro yang berbungan dengan krisis geopolitik saat ini. Rusia membalas memotong pasokan gas alam ke Eropa, sehingga meningkatkan permintaan batu bara sebagai energi alternatif. Dengan begitu, harga batu bara global menyentuh level tertingginya.
Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (9/9), harga batu kontrak di pasar ICE Newcastle ditutup pada US$430,6 per ton. Harga batu bara sempat mencatatkan rekor baru pada Senin (5/9) pada US$463,75 per ton.
Anggaran belanja modal Adaro
Perseroan telah menyiapkan belanja modal US$300 juta–US$450 juta, naik sekitar dua kali lipat dibandingkan realisasi belanja modal pada 2021 yang sebesar US$193 juta. Selain untuk meremajakan alat produksi, belanja modal juga dialokasikan untuk ekspansi ke bisnis energi terbarukan.
“Untuk bertransformasi ke energi terbarukan, di mana kita juga mau masuk ke mineral, tentu kita membutuhkan capex yang cukup besar. Namun kami masih menghitung berapa dana capex yang diperlukan,” kata Luckman.
Hingga semester I-2022, Adaro telah merealisasikan belanja modal US$157 juta yang sebagian besar dimanfaatkan untuk meremajakan alat produksi.