Jakarta, FORTUNE - Moratorium bea masuk produk hasil perdagangan daring atau melalui e-commerce akan diperpanjang hingga Desember 2023 atau pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ke-13.
Namun demikian, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Dirjen PPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko B. Witjaksono mengatakan moratorium tersebut akan dihentikan secepatnya pada 2024.
Salah satu faktor penentu adalah kelanjutan program kerja terkait e-commerce yang dicanangkan WTO pada 2017. "Kalau tidak ada kesepakatan atau keputusan lain (terkait program kerja e-commerce 2017), maka moratorium ini akan berakhir pada Maret 2024," kata Djatmiko dalam konferensi pers virtual, Senin (27/6).
Sebenarnya, kata Djatmiko, sejumlah negara berkembang anggota WTO menginginkan agar bea masuk e-commerce diterapkan. Sebab, sebagian negara masih menggantungkan pendapatan fiskal dari bea masuk.
"Dengan kondisi perekonomian seperti saat ini sepertinya moratorium ini tidak perlu diperpanjang. Karena seperti contoh ada beberapa negara berkembang mereka masih sangat tergantung dari pengenaan pajak bea masuk yang mereka terapkan," kata Djatmiko.
Dengan demikian, kata Djatmiko, Indonesia tidak memiliki pendapatan dari masuknya produk-produk e-commerce asing ke dalam negeri. Menurutnya, kondisi tersebut juga dialami oleh negara-negara lain. Beberapa produk e-commerce asing yang dapat ditemukan di dalam negeri adalah e-Bay, Amazon, dan Alibaba.
Oleh karena itu menurutnya, perlu ada regulasi baru yang mengatur transaksi elektronik bukan hanya pada pengenaan bea masuk, tapi juga pengelolaannya. "Jadi, jangan ekonomi winner takes all, negara berkembang hanya jadi pasar. Kami ingin ada leveraging, balancing the benefit between all members," kata Djatmiko.
Kerugian miliaran dollar
Seperti dikutip dari Reuters, berdasarkan laporan riset UNCTAD berjudul Growing Trade in Electronic Transmission: Implications for the South yang diterbitkan pada 2019, moratorium tersebut membuat negara ekonomi berkembang kehilangan US$8 miliar pada 2017, sedangkan potensi kehilangan pendapatan para negara maju hanya sekitar US$212 juta.
Riset UNCTAD juga memperkirakan potensi pendapatan yang hilang akibat larangan pengenaan tarif bea masuk produk digital di tiap negara.
Negara yang potensi kehilangan pendapatannya terbesar adalah India dan Cina. India kehilangan US$497 juta setiap tahun, sedangkan Cina kehilangan US$492 juta. Untuk Indonesia, potensi kehilangan dari pendapatan bea masuk US$54 juta .
Rencana Indonesia, India, dan Afrika Selatan untuk menolak perpanjangan moratorium membuat perusahaan teknologi global kelimpungan. Sebanyak 108 asosiasi perusahaan teknologi, menurut Reuters, termasuk di India dan Indonesia bersurat kepada WTO mendesak adanya pembaruan moratorium. Jika tidak dilakukan, mereka mengatakan terjadi kemunduran untuk WTO dan juga merusak pemulihan global.