Jakarta, FORTUNE - Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan transformasi PT Perkebunan Nusantara dengan membentuk holding perusahaan gula milik negara bernama Sugar Co atau PT Sinergi Gula Nusantara (SGN).
Menteri BUMN, Erick Thohir, menilai pembentukan Sugar Co sejalan dengan prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selalu menekankan pembangunan ekosistem dan mengurangi ketergantungan atas rantai pasok dunia untuk sektor pangan dan energi.
“Fokus Sugar Co tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gula nasional, meningkatkan kesejahteraan petani tebu, menjaga stabilitas harga gula petani, tetapi juga menjadi produsen bioetanol yang merupakan produk turunan dari tebu sebagai campuran bahan bakar minyak,” kata Erick dalam keterangannya, Selasa (11/10).
Revitalisasi industri gula nasional yang dilakukan oleh PT SGN ini termasuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi on farm maupun off farm, sehingga diharapkan mampu mewujudkan swasembada gula konsumsi nasional 2028, dan gula konsumsi industri 2030.
Pada 2021 produksi gula kristal putih (GKP) nasional adalah 2,35 juta ton dengan kebutuhan konsumsi gula nasional sebesar 3,12 juta ton. Dengan demikian, sisa kebutuhan gula nasional terpaksa harus dipenuhi melalui impor sebesar 1,04 juta ton setara GKP.
Untuk itu, pembentukan PT SGN merupakan solusi untuk percepatan swasembada gula konsumsi, peningkatan kesejahteraan petani tebu, juga menjaga stok gula konsumsi untuk stabilisasi harga.
Mengintegrasikan PTPN
Selain membentuk Sugar Co, PTPN juga melakukan langkah strategis dengan membentuk Palm Co untuk meningkatkan produksi dan hilirisasi kelapa sawit. Untuk pengembangan produk komoditas lainnya, ia dikelompokkan ke dalam payung Supporting Co.
Dengan terbentuknya Sugar Co, maka payung usaha ini menjadi raksasa produsen gula di Tanah Air yang berhasil mengintegrasikan tujuh perusahaan PTPN dan dua cucu perusahaan. Namun, lebih dari itu, Sugar Co juga nantinya akan menjadi tulang punggung ketahanan pangan dan salah satu penggerak ketahanan energi nasional dengan produk bioetanol.
"Hari ini coba kita kick off. Kita berharap revitalisasi industri ini dapat memenuhi kebutuhan gula nasional untuk jangka menengah dan panjang," ujarnya.
Presiden Jokowi, kata Erick, juga ingin memastikan kesejahteraan petani harus menjadi bagian dalam revitalisasi ini. "Kita ingin memastikan pendapatan petani yang Rp13,1 juta per hektare didorong menjadi Rp32,1 juta per hektare. Tapi ojo kesusu, bertahap karena perlu juga yang namanya pupuk, bibit, dan off-taker-nya," katanya.
Bakal memproduksi bioetanol
Sejalan dengan peningkatan produktivitas gula yang dilakukan PT SGN nantinya, produksi bioetanol berbasis tebu yang memberikan kontribusi nyata pada biofuel diharapkan dapat turut meningkat. Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif berasal dari tumbuhan yang sudah melewati proses fermentasi, dan salah satu tumbuhan yang bisa dimanfaatkan adalah tebu. Berdasarkan hasil studi di Brasil, 1 ton tebu dapat menghasilkan setara 1,2 barrel minyak mentah.
“Seiring dengan meningkatnya produksi tebu nasional, Sugar Co sendiri berpotensi memproduksi bioetanol sebanyak 1,2 juta kilo liter pada 2030,” ujar Erick.
Melihat potensi yang begitu besar, Pertamina pun akan memulai pilot project di Pabrik Gula (PG) Gempolkrep untuk memproduksi Bioetanol dari Sugar Co. “Dengan mencampur Bioetanol ke BBM Pertamina yang sudah ada, maka BBM Pertamina akan lebih ramah lingkungan," kata Erick.
Lebih lanjut, Erick mengatakan revitalisasi industri gula yang dilakukan oleh BUMN dapat memperluas hilirisasi produk yang bisa menyerap lebih banyak lapangan kerja. Dia mengatakan sektor ini memiliki turunan dalam bentuk ampas tebu yang dapat mendukung industri farmasi.
"Ampas tebu ini salah satu bahan baku farmasi yang halal. Dengan demikian produk farmasi akan lebih terjangkau karena tidak impor bahan bakunya. Ikhtiar ini perlu dukungan semua pihak, kedaulatan pangan dan energi harus kita ciptakan bersama-sama," kata Erick.