Jakarta, FORTUNE - Maskapai penerbangan Lion Air Group mengaku tak mendapat untung untuk beberapa rute meski harga tiket pesawat tinggi. Perusahaan bahkan harus mengeluarkan biaya lebih karena berbagai faktor.
“Ada beberapa rute yang meski mengikuti TBA (tarif batas atas), tidak bisa untung (kendati kursi) terisi 100 persen. Kalau dipaksakan mengikuti TBA (saat ini), otomatis (maskapai) tidak sanggup menjalankan rute,” ujar Managing Director Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro Adi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR-RI disiarkan secara virtual, Selasa (28/6).
Ongkos operasional yang lebih besar ini terjadi akibat perubahan trafik serta rute yang berpengaruh terhadap waktu tempuh pesawat dan utilisasi armada. Daniel mencontohkan rute penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang menuju Tanjung Karang, Kota Bandar Lampung.
Sebelum perubahan terjadi, rute tersebut bisa ditempuh dalam waktu 20 menit. Namun karena ada perubahan trafik, rute penerbangan itu dijangkau dengan waktu lebih lama, yakni 50 menit atau satu jam.
Selain itu, Daniel memberikan contoh lain, yakni rute Bali menuju Lombok atau sebaliknya. Dengan waktu penerbangan yang berubah lantaran mengikuti jam operasional bandara, maskapai tidak bisa mencapai profit meski tingkat keterisiannya optimal 100 persen.
Untuk itu, Lion Air harus menjalankan strategi kebijakan auxiliary income atau penghasilan tambahan dari lini bisnis lainnya. Misalnya, memaksimalkan penerbangan kargo.
Usul perubahan aturan tarif
Sebagai solusi, Daniel lantas mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan untuk mengkaji perubahan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019 yang mengatur formulasi penghitungan (Tiket Batas Bawah) TBB dan Tiket Batas Atas (TBA). Aturan ini sebagai dasar rumusan penetapan harga tiket pesawat.
Daniel menyebut, perhitungan harga avtur sebagai bahan bakar utama dan komponen pembentuk tarif tiket lainnya dalam beleid tersebut disusun sebelum Covid-19. Sementara itu, kini sejumlah perubahan telah terjadi, termasuk melonjaknya harga avtur akibat kenaikan harga acuan minyak dunia.
“Banyak sekali review yang harus dilakukan, paling tidak cost operasional bisa kita reduce karena alat utama bisnis penerbangan adalah pesawat. Kami melihat ada usulan-usulan kenaikan,” ujar Daniel.
Kenaikan harga avtur jadi beban
Di tengah kenaikan harga avtur, Daniel mengaku operator pesawat harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk perawatan armadanya. Sebabnya, sejumlah vendor penyedia material tutup selama pandemi.
Vendor yang menyediakan alat atau suku cadang akhirnya menjual komponen untuk pendukung alat produksi dengan harga lebih tinggi.
Kenaikan dirasakan juga karena pembayaran biaya perawatan komponen menggunakan mata uang dolar. Di tengah gejolak ekonomi, nilai tukar rupiah yang melemah membuat operator mesti mengeluarkan ongkos lebih besar sesuai kurs berlaku.
Saat ini Lion Air Group masih mengoperasikan 255 pesawat. Tingkat on time performance atau OTP pesawat mencapai 73 persen. Meski pergerakan penumpang mulai pulih, secara keseluruhan tingkat keterisian maskapai Lion Air baru 72 persen.