Jakarta, FORTUNE - Petani sawit meminta pemerintah untuk menghapus kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Sebab, kebijakan tersebut serta flush out (FO) ini disinyalir jadi biang kerok lambatnya ekspor CPO, dan anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sawit.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengatakan harga rata-rata TBS saat ini berkisar Rp845 per kilogram untuk petani nonmitra, dan Rp1.441 per kilogram untuk petani mitra. Harga TBS petani mitra produsen sawit masih berada di bawah harga patokan Dinas Perkebunan.
"Begitu tragisnya nasib petani sawit saat ini, hari demi hari (harga TBS) terus berkurang," kata Gulat dalam keterangannya, Rabu (29/6).
Selama ini mekanisme perhitungan harga TBS sawit di Indonesia tidak pernah menggunakan komponen biaya produksi atau harga pokok produksi (HPP), melainkan hasil tender internasional di Rotterdam yang kemudian ditender di dalam negeri.
"Harga tender di dalam negeri sangat mencengangkan yaitu hanya Rp8.000, sedangkan harga tender CPO internasional itu mencapai Rp20.400," ujarnya.
Ada sebab lainnya
Harga TBS di dalam negeri lebih rendah hingga 60 persen dari harga minyak sawit mentah (CPO) dunia. Menurut Gulat, perbedaan harganya secara domestik dan internasional disebabkan oleh sejumlah aturan yang ditetapkan pemerintah seperti DMO dan DPO.
Selain itu, faktor yang membuat harga TBS domestik rendah adalah biaya fiskal eksportasi CPO, yakni bea keluar (BK), dan pungutan ekspor (PE). “Ini semuanya beban. Maka tergeruslah harga dari Rp20.400 menjadi Rp8.000. Ini sangat mencengangkan," katanya.
Petani berharap pemerintah segera menghapuskan 'beban-beban' yang selama ini menjatuhkan harga TBS petani. Dua di antaranya, yaitu DMO dan DPO, bisa mulai segera dihapuskan agar bisa kembali memperbaiki harga TBS petani di dalam negeri.
"Kalau untuk BK (Bea Keluar) dan PE (Pungutan Ekspor) kami setuju tetap dilanjutkan. Tapi kalau untuk yang 3 beban (DMO, DPO dan FO), itu harus dihapus,” ujarnya.
Pembelaan pemerintah terhadap DMO dan DPO
Program percepatan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan sejumlah produk turunannya ditetapkan mencapai 3,41 juta ton. Namun, dalam perkembangannya, realisasi ekspor saat ini baru 1,2 juta ton. Ada beberapa kendala yang menyebabkan realisasi ekspor CPO dan turunannya tidak maksimal.
Kebijakan mempercepat ekspor diambil setelah pemerintah mencabut larangan ekspor dan menggantinya dengan kebijkan DMO CPO dan sejumlah produk turunannya. Program percepatan ekspor itu bertujuan mengosongkan (flush out) tangki-tangki CPO yang penuh selama larangan ekspor berlangsung. Tujuannya adalah agar serapan dan harga TBS sawit di tingkat petani naik.
Pemerintah memprediksi pelaksanaan ekspor CPO dan produk turunannya bisa kembali normal dalam dua minggu ke depan sehingga harga TBS petani bisa naik.
"DMO dan DPO menurut kami bukan permasalahan utama yang menyebabkan lambatnya ekspor," kata Staf Khusus Bidang Hubungan Internasional dan Perjanjian Internasional Kemenko Marves, Firman Hidayat, saat konferensi pers virtual, Selasa (28/6).