Jakarta, FORTUNE - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, kenaikan tarif tersebut memberikan efek domino ke konsumsi masyarakat hingga investasi.
“Ketika kebijakan PPN ini diambil, secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena orang akan menahan konsumsi,” kata Ekonom Indef, Abdul Manap Pulungan, dalam diskusi virtual, Rabu (20/3).
Berdasarkan Pasal 7 dalam Undang Undang No.7/2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, disebutkan bahwa tarif PPN 11 persen berlaku pada 1 April 2022, sedangkan tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dia menjelaskan Kenaikan PPN akan mempengaruhi keputusan masyarakat terhadap pendapatan yang akan dibelanjakan, khususnya pada komponen nonmakanan seperti kelompok transportasi, komunikasi, serta restoran dan hotel.
"Kenaikan tarif PPN dapat berpotensi menurunkan konsumsi rumah tangga dan menekan sektor-sektor lain dalam perekonomian, karena masyarakat cenderung mengurangi belanja untuk mengantisipasi inflasi yang mungkin terjadi," ujarnya.
Indonesia saat ini terbilang moderat dalam memberlakukan PPN pada 11 persen. Negara seperti Laos dan Filipina telah lebih dulu menerapkan tarif PPN 12 persen. Sementara untuk negara-negara seperti Jepang dan Korea Utara, tarif PPN masih 10 persen.
Sinyal perlambatan telah muncul
Pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11 persen, Abdul mengatakan perekonomian mengalami perlambatan. Hal ini nampak dari laporan pertumbuhan ekonomi pada akhir 2023 yang hanya 5,05 persen atau mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,32 persen.
"Kalau kita detailkan lagi selama 2023, beberapa indikator daya beli memang menurun. Terutama dari konsumsi rumah tangga, [yang] terlihat penurunan dari 4,9 persen ke 4,82 persen," kata Abdul
Abdul mengakui dampak dari kebijakan menaikkan PPN ini akan berpengaruh pada perekonomian secara menyeluruh karena menyentuh segala aspek dari transportasi, perdagangan, dan banyak lainnya. Beda hal ketika yang dinaikkan adalah tarif pajak penghasilan (PPh) untuk golongan atas, yang hanya berdampak terhadap orang kaya.
“Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian bagi pemerintah. Meskipun bisa menambah penerimaan perpajakan, yang perlu diperhatikan sinyal-sinyal perlambatan ekonomi telah muncul sejak 2020,” ujarnya.