Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyoroti tren pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Depresiasi yang telah melewati level 16.400 ini telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pelaku usaha.
Berdasarkan data Google Finance per Selasa (18/6) sore, dolar AS berada pada posisi Rp16.417 atau turun 0,42 persen.
Ketua Apindo, Shinta Kamdani, menyatakan bahwa pelemahan ini sangat tidak mendukung dunia usaha dan memberikan dampak signifikan terhadap investasi dan kinerja Manufaktur di Indonesia.
Menurutnya, level Rp16.000 saja sudah cukup mendongkrak biaya operasional bisnis di Indonesia menjadi sangat mahal.
"Tidak affordable dan tidak kompetitif untuk pertumbuhan industri dalam negeri maupun untuk ekspor," kata dia kepada Fortune Indonesia, Selasa (18/6).
Peningkatan biaya operasional ini tidak hanya terbatas pada kenaikan beban impor bahan baku dan penolong, tetapi juga meliputi komponen beban usaha lainnya seperti logistik, transportasi, dan pembiayaan. Hal ini, menurut Shinta, akan berdampak pada penurunan kinerja usaha, potensi penciptaan lapangan kerja, peningkatan risiko kredit bermasalah (NPL), dan penurunan kapasitas produksi.
"Dampak negatif ini bukan hanya terhadap industri yang sudah ada. Pelemahan nilai tukar juga akan berimbas negatif pada realisasi investasi dan penerimaan investasi asing," ujarnya.
Pasar domestik semakin lesu dengan pelemahan rupiah
Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya volatilitas dan spekulasi pasar keuangan yang cenderung memberikan tekanan lebih besar terhadap stabilitas makro ekonomi nasional. Shinta juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap pasar domestik yang semakin lesu.
"Pasar domestik juga kami khawatirkan akan semakin lesu dan semakin menahan diri untuk melakukan ekspansi konsumsi bila pelemahan nilai tukar terus dibiarkan," kata Shinta.
Apindo berharap pemerintah dapat terus melakukan intervensi kebijakan yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar uang.
Meskipun begitu, Shinta mengakui bahwa pelemahan ini disebabkan oleh kondisi eksternal yang berada di luar kendali pemerintah, yang memerlukan reaksi cepat.
"Depresiasi rupiah adalah yang ke-3 terdalam di ASEAN-5 secara year-to-date. Ini harus diwaspadai dan segera dikoreksi bila kita tidak ingin ekspor dan Foreign Direct Investment (FDI) semakin tergerus," ujarnya.
Akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Shinta mengingatkan bahwa ekspor dan investasi asing memberikan kontribusi signifikan terhadap stabilitas makro ekonomi, industrialisasi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di Indonesia. Jika kinerja dan daya saing sektor-sektor ini tidak dijaga, pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan masyarakat akan semakin melemah.
Dalam situasi yang penuh tantangan ini, peran aktif pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan menciptakan iklim investasi yang kondusif menjadi sangat krusial.
"Kami berharap pemerintah dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kondisi ini demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia," ujar Shinta.