Jakarta, FORTUNE - S&P Global menyatakan Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Mei 2024 berada pada level 52,1 alias tertekan 0,8 poin jika dibandingkan dengan capaian April 2024 yang mencapai 52,9.
Economics Director S&P Global Market Intelligence, Paul Smith, mengatakan output dan permintaan baru melambat pada periode survei Mei 2024, meski tingkat pertumbuhan masih tergolong sehat dan di atas tren jangka panjang.
Permintaan masih didominasi oleh pasar domestik, sedangkan untuk ekspor turun selama tiga bulan berturut-turut karena merespons perlambatan permintaan manufaktur global. Akibatnya, permintaan baru secara umum naik ke posisi terendah dalam enam bulan belakangan.
“Meski pertumbuhan bertahan positif, terlihat tanda-tanda akan memburuk. Tingkat pertumbuhan secara umum rendah, sementara kepercayaan diri turun ke posisi terendah selama lebih dari empat tahun. Tekanan biaya juga naik,” kata dia dalam keterangannya, Senin (3/6).
Dari sisi produksi terjadi peningkatan lebih tinggi dibandingkan dengan pesanan baru. Alhasil, perusahaan harus menyimpan stok barang berlebih.
Di sisi lain, perusahaan manufaktur disebut akan berhati-hati menambah pekerja, meski sejumlah perusahaan mulai mengganti pekerja yang berhenti.
“Dapat dipahami bahwa perusahaan berhati-hati terhadap jumlah tenaga kerja dengan menunggu dan melihat daripada mengganti staf yang berhenti,” ujar Paul.
Kepercayaan industri dalam titik terendah
Akan tetapi, kata Paul, secara keseluruhan kepercayaan diri mencapai titik terendah selama survei sejak Maret 2020. Muncul kekhawatiran bahwa tanda-tanda penurunan permintaan pasar akan semakin intensif dalam 12 bulan ke depan.
“Perusahaan kurang berhati-hati dalam hal aktivitas pembelian, yang terus tumbuh dengan kecepatan tinggi pada bulan Mei. Pertumbuhan pada dasarnya untuk menanggapi produksi saat ini dan kebutuhan pesanan, sekaligus sengaja untuk mengurangi inventaris input,” ujarnya.
Selain itu, stok pembelian secara umum naik kembali pada Mei, naik selama 15 bulan berturut-turut dan pada laju solid.
Terdampak nilai tukar Rupiah
Terakhir, dari segi harga, manufaktur Indonesia kembali melaporkan bahwa inflasi harga input menguat. Dalam laporannya, harga input secara umum naik, sebagian disebabkan oleh nilai tukar yang buruk. Pemasok menaikkan tarif, meski hal ini terjadi bersamaan dengan sedikit perbaikan pada kinerja pengiriman mereka.
Namun, permintaan pasar dan permintaan diskon terbatas pada besaran inflasi biaya input yang dapat dibebankan kepada klien. Data terkini menunjukkan kenaikan sedang pada biaya output pada Mei, dengan inflasi menurun ke posisi terendah sejak Oktober.