Jakarta, FORTUNE – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mengakui terdampak dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.8/2024—yang mengubah kebijakan impor—telah berdampak langsung pada operasionalisasi Industri Tekstil di Indonesia.
Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, menyatakan kondisi tersebut menyebabkan banyak pelaku industri tekstil mengalami gangguan signifikan.
"Kalau itu secara nyata, pasti, ya. Karena teman-teman kami juga kena," ujar Iwan sat ditemui di Kemenperin, Senin (28/10).
Menurutnya, dampak dari beleid yang ditetapkan pada 17 Mei 2024 pada banyak pelaku industri tekstil begitu nyata sehingga beberapa perusahaan harus menutup usaha akibat disrupsi yang terlalu dalam.
Iwan menjelaskan bahwa meskipun regulasi impor merupakan bagian penting dalam menjaga keseimbangan pasar, efeknya terhadap industri lokal tidak bisa diabaikan, terutama di tengah kondisi geopolitik yang masih belum stabil. Ia menekankan bahwa kebijakan ini menjadi tantangan baru bagi pelaku usaha tekstil yang telah lebih dulu menghadapi berbagai masalah klasik, seperti persaingan ketat dan tingginya biaya produksi.
"Regulasi itu sangat penting, terutama di saat geopolitik belum sehat. Namun, banyak pelaku industri tekstil mengalami gangguan yang terlalu dalam, sampai ada yang tutup," kata Iwan.
Meski begitu, Iwan menegaskan bahwa pihaknya berada di bawah naungan Kementerian Perindustrian dan akan mengikuti kebijakan yang ditetapkan. Oleh karena itu, ia berharap kepada pemerintah untuk dapat mengambil kebijakan untuk memulihkan kondisi sektor tekstil.
Kondisi Sritex kini
Saat ini kondisi Sritex sedang terseok-seok. Berkaca pada laporan keuangannya pada triwulan II-2024, perusahaan itu mengalami rugi komprehensif tahun berjalan senilai US$25,73 juta. Kerugian ini menurun sekitar tiga kali lipat ketimbang periode yang sama pada 2023, yakni US$78,03 juta.
Kerugian terjadi lantaran pendapatan penjualan neto lebih kecil daripada beban pokok penjualan. Pada triwulan II-2024, penjualan neto mencapai US$131,72 juta, sementara beban pokok penjualan mencapai US$150,24 juta. Ini menyebabkan perusahaan membukukan rugi bruto senilai US$18,51 juta.
Total utangnya sendiri mencapai US$1,6 miliar atau Rp25 triliun. Utang Sritex tersebut terbagi atas jangka pendek sebesar US$131,42 juta dan jangka panjang US$1,47 miliar. Utang didominasi oleh utang bank dan obligasi.
Jumlah utang Sritex lebih besar dari aset. Total aset perusahaan tercatat hanya US$653,51 juta.
Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang sebelumnya telah menyatakan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) (Sritex) pailit. Hal itu berdasarkan pada putusan perkara dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg oleh Hakim Ketua Moch Ansor pada Senin (21/10).