California, FORTUNE - Berbagai perusahaan mulai memanfaatkan kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI) untuk mengatasi masalah krisis air bersih. Measurabl, Inc., perusahaan perangkat lunak berbasis di Sandiego, California, Amerika Serikat (AS), misalnya, mulai menggunakan pembelajaran mesin dan sejumlah besar data untuk membantu perusahaan memantau emisi bangunan, serta penggunaan energi dan air yang mereka gunakan.
Salah satu krisis yang disoroti Measurabl adalah kekeringan terparah dalam 1.200 tahun terakhir yang melanda Great Salt Lake Utah--danau asin terbesar di Barat Daya AS. Kini danau itu menyusut menjadi hanya sepertiga dari ukuran biasanya. Kondisi ini membuat pencemaran logam berat di Salt Lake City, kota kecil di dekatnya, ke tingkat yang mengkhawatirkan.
"Anda akan mengalami masalah pertumbuhan, masalah nilai rumah, dan masalah bisnis,” kata Matt Ellis , CEO Measurabl, seraya mencatat bahwa investor cenderung khawatir tentang pembangunan di Salt Lake City. “(Krisis) Ini berjalan sangat cepat melalui tumpukan modal bisnis real estat, dan kami melihat pelanggan kami benar-benar mulai mengubah perilaku jual beli mereka karenanya.”
Kekurangan air di Barat Daya Amerika dan peristiwa terkait iklim lainnya, yang semakin sering dan parah, memang telah mendorong permintaan pengukuran dampak perubahan iklim yang lebih akurat. Untuk itu, perusahaan di semua sektor ekonomi semakin beralih ke AI dan model data seperti yang ditawarkan oleh Measurabl untuk menilai dengan lebih baik bagaimana iklim akan mengancam operasi dan keuntungan mereka.
Terlebih, di Barat Daya AS, dampak negatif kekeringan terhadap perekonomian telah melampaui keuntungan bisnis real estat. Kondisi ini telah menyebabkan reservoir utama mereka mengalami kekeringan terburuk, memunculkan potensi gagal panen, serta mengganggu rantai pasokan dan jalur manufaktur.
Dalam sebuah catatan yang dirilis bank Inggris Barclays Juni tahun lalu, sektor kebutuhan pokok konsumen, yang meliputi makanan, minuman dan barang-barang rumah tangga yang tidak tahan lama, di kawasan tersebut bisa kehilangan US$200 miliar akibat kekurangan air saja.
Sementara itu, perusahaan teknologi besar, yang data centernya didinginkan oleh jutaan galon air tawar setiap hari, harus menjanjikan langkah-langkah konservasi air dalam lantaran kota-kota di Barat Daya menolak rencana pembangunan infrastruktur cloud baru.
Pada akhirnya, kondisi ini mendorong berbagai perusahaan, investor, penyedia asuransi, dan kreditur semakin mengandalkan data iklim untuk membuat keputusan strategis utama.
Adopsi AI
Dalam surveinya yang dirilis tahun lalu, perusahaan riset pasar Gartner menyebut bahwa upaya keberlanjutan--yang dikenal di kalangan perusahaan dan investor sebagai inisiatif Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG)--menempati peringkat tiga prioritas teratas dewan direksi perusahaan untuk tahun ini dan 2023.
Menurut mereka, kini tak ada angka sulit yang menggambarkan meningkatnya adopsi AI dan teknologi data oleh sektor swasta. “Ada ekosistem yang berkembang dari perusahaan rintisan yang menggunakan AI dan layanan cloud” untuk penilaian risiko terkait iklim,” kata Gartner. “Penggunaan pembelajaran mesin dan teknik AI lainnya untuk mitigasi perubahan iklim sudah berjalan dengan baik.”
Microsoft, misalnya, menggunakan data dan model pembelajaran mesin untuk menampung jutaan galon air yang mendinginkan data centernya. Statistik yang mereka hasilkan juga digunakan untuk membantu orang atau lembaga lain mengidentifikasi dan mengatasi masalah penggunaan air.
Cervest, perusahaan software berbasis di London, pun tak mau ketinggalan. Mereka mengeklaim telah menggunakan pembelajaran mesin dan beragam data yang dikumpulkan oleh satelit, stasiun cuaca, dan metode penginderaan jauh untuk menilai risiko terhadap portofolio aset perusahaan--termasuk pabrik, kampus perusahaan, distribusi, dan data center.
Sementara Lotic Labs, perusahaan perangkat lunak berbasis di Chicago, Illinois, AS, menerapkan teknologi serupa untuk memantau risiko terkait cuaca dan menerjemahkan data tersebut ke dalam model risiko keuangan.
Pertanian dan asuransi adopsi AI
Bisnis pertanian, salah satu konsumen air tawar terbesar di dunia, juga beralih ke AI untuk beroperasi lebih efisien, mulai dari ladang hingga lorong produksi bahan makanan. Sebab, meski periode kekeringan telah mengganggu AS Barat Daya selama ribuan tahun, tetapi bentangan cuaca kering terbaru ini-- yang diperparah dengan panas ekstrem--telah terbukti sangat persisten dan berbahaya.
Tahun lalu, pejabat federal bahkan sampai mengumumkan bahwa mereka menahan air untuk pertama kalinya dalam sejarah Lembah Sungai Colorado, membatasi alokasi air ke negara bagian yang mengandalkan jalur air sepanjang 1.450 mil. Para pejabat mengatakan pada bulan Juni bahwa lebih banyak pembatasan mungkin akan dilakukan.
“Ini sangat buruk,” kata David Feldman, seorang ilmuwan politik yang merupakan direktur Water UCI, sebuah lembaga pemikir ilmu dan kebijakan air di UC Irvine.
Kini, para petani di Barat Daya AS yang sejak kepresidenan George Washington telah mengandalkan prediksi cuaca menggunakan kalender, beralih ke petabyte data di cloud, yang dimanfaatkan model AI untuk membuat prediksi yang jauh lebih akurat dan mengotomatisasi sistem operasi pertanian.
Bahkan sebuah traktor dapat mengemudikan diri mereka sendiri dalam garis lurus. Alih-alih menyemprot lahan pertanian yang luas dengan pestisida yang dapat mengalir ke persediaan air setempat, kamera yang dilengkapi dengan penglihatan komputer menargetkan kelompok gulma dengan presisi tinggi. Sensor di tanah dapat memicu aliran air irigasi, juga dengan presisi yang jauh lebih besar, yang menjaga pasokan air.
Sementara di asruransi, kecerdasan buatan telah dadopsi untuk membuat model keuangan terkait iklim yang lebih akurat. Valentina Fomenko, pakar yang memberi nasihat kepada Bank Dunia tentang inisiatif lingkunga, mengatakan, model tersebut dapat digunakan oleh perusahaan untuk membangun produk asuransi iklim yang lebih baik dan tersedia lebih luas.
Indikatornya pun jelas. Penyedia asuransi Swiss Re memperkirakan kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan peristiwa terkait iklim lainnya akan mengurangi hingga US$23 triliun dari output ekonomi global--pengurangan antara 11 persen dan 14 persen--pada tahun 2050.
Perusahaan asuransi sudah juga telah mengutip risiko kekeringan dan kebakaran hutan sebagai alasan untuk menaikkan suku bunga atau membatalkan polis. Dan perusahaan pemeringkat kredit S&P Global mengatakan dalam sebuah laporan tahun lalu bahwa kekurangan air semakin menghambat produksi industri dan memusnahkan akses perusahaan ke modal.
"Perlu ada pergeseran pemikiran tentang bagaimana kami menilai risiko. Kami membutuhkan analitik untuk dapat memproyeksikan ketersediaan air dan berpotensi menerjemahkannya ke dalam istilah keuangan," jelas Formenko.