Jakarta, FORTUNE - Ekonom senior, Faisal Basri, memandang kebijakan hilirisasi pertambangan justru menguntungkan pihak lain ketimbang memperkokoh industri dalam negeri. Pasalnya, hasil tambang yang diolah smelter justru diekspor dan tidak digunakan untuk mendukung produksi pabrik-pabrik domestik.
"Jadi bukan memperkokoh struktur industri, mengisi di bagian tengah yang kosong. Saya menyebutnya hollow middle," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan", Selasa (11/10).
Ia mencontohkan lonjakan ekspor nickel pig iron (NPI) atau feronikel berkadar rendah ke Tiongkok pada 2020. Berdasarkan data International Trade Center, nilai ekspornya saat itu US$309,9 miliar.
Padahal, menurut Faisal, komoditas tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pendukung industri di Indonesia. Lagi pula, nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan bijih nikel menjadi feronikel berkadar rendah tidak terlalu besar.
"Tujuan kita kan hilirisasi supaya kita bisa memperkokoh industri garpu, sendok, pisau bukan diekspor semua. Nah, ini kita lihat sebagian besar ekspor komoditas ini ke Cina, untuk mendukung hilirisasi Cina," ujarnya.
Di sisi lain, penetapan harga patokan mineral (HPM) di tengah upaya hilirisasi pertambangan juga merugikan pengusaha. Sebab, harga tersebut memiliki kesenjangan yang cukup tinggi dengan harga internasional.
Pada Semester I, misalnya, harga nikel kadar 1,8 persen di Shanghai Metal Market (SMM) dipatok US$79,61 per ton. Namun, HPM yang ditetapkan pemerintah hanya US$38,19 per ton. Penetapan harga memang tidak harus dengan besaran sama dengan harga internasional. Tetapi, menurut Faisal, HPM dan harga pasar internasional tidak terpaut jauh.
"Oke tidak harus US$79,61 per ton karena ini harga FOB/CIF. Katakanlah harga FOB bongkar muat segala macam pantas-pantasnya, ya, US$60 per ton atau sialnya US$50 deh (HPM-nya)," jelasnya.
Kerugian Pengusaha Tambang Nikel
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan meski HPM sudah merugikan para pengusaha pertambangan, masih banyak industri hilir yang enggan melakukan transaksi menggunakan harga acuan tersebut. Mereka justru lebih memilih menggunakan jasa traders yang dianggap masih terafiliasi.
Bagi para penambang, ini tentu jadi masalah besar. Pasalnya, mereka diwajibkan untuk membayar royalti dan PPh berdasarkan besaran harga HPM. Lantaran itu, ia menilai praktik perdagangan industri nikel tak sesuai dengan ketentuan dalam Permen ESDM No.11/2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.
"Dalam pelaksanaannya, model perdagangan yang diwajibkan kepada kami yaitu kami menerima 99 persen kontrak harus dilalui traders," ujar Meidy.
Belum lagi, mayoritas harga nikel yang dibeli industri adalah HPM free on board (FOB) di mana subsidi untuk biaya transportasi yang diberikan maksimal US$ 3 per ton. Imbasnya penambang harus menanggung biaya transportasi yang lebih besar untuk pengiriman dari lokasi yang jauh.
Misalnya, jika HPM yang digunakan adalah US$40 per ton, maka harga yang digunakan dalam transaksi hanya US$43 per ton setelah ditambah subsidi transportasi. Padahal, kata Meidy, biaya transportasi bisa mencapai US$8-US$12 per ton. Alhasil, mereka bisa menambal selisih ongkos dengan subsidi hingga US$5-US$9 dolar per ton.
Kerugian lain yang dialami penambang juga bisa berasal dari selisih hitung kadar nikel yang menyebabkan mereka harus membayar penalti. Musababnya, hanya ada dua surveyor yang mendominasi perdagangan di sisi hilir sementara kontrak perdagangan nikelnya mencapai 5.542.
Karena itu, pemerintah harus melakukan investigasi untuk melihat apakah terjadi kesalahan hitung kadar oleh surveyor. "Kita berhitung secara logika itu sangat tidak mungkin apakah satu perusahaan ini bisa menampung seluruhnya," kata Meidy.