Jakarta, FORTUNE - Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Harwendro Adityo Dewanto meminta pemerintah melakukan pembatasan impor produk hilir timah di dalam negeri.
Pasalnya, banyak barang berbahan baku timah yang diimpor tanpa terkena tarif bea masuk sehingga produk dari dalam negeri sulit bersaing dari sisi harga di pasar domestik.
"Produk hilir program timah, contohnya solder, masuk ke Indonesia tanpa dikenakan bea masuk 0 persen. Ini yang menyebabkan produk timah sulit diserap dalam negeri," ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi VI DPR, Kamis (13/6).
Padahal, Indonesia merupakan salah satu produsen timah terbesar di dunia dan telah melarang ekspor bijih timah sejak 2013.
"Saat ini standar ekspor timah sudah ditentukan oleh pemerintah sekitar 99,9 persen," katanya.
Ia juga menyampaikan permasalahan yang dihadapi para eksportir timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) saat ini.
Sebagai daerah yang memproduksi 93 persen timah nasional, Babel menghadapi berbagai masalah menyusul pengusutan kasus korupsi PT Timah yang disebut-sebut merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Perekonomian Bangka Belitung sendiri ditopang oleh sektor tambang dan industri pengolahan timah yang berkontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) hingga 28,79 persen.
"Hal ini menjadi kekhawatiran juga bagi AETI karena sektor pertimahan di Babel sedang tidak baik-baik saja. Karena ada dua problem utama. Pertama kasus hukum, kedua kendala ekspor terutama penerbitan RKAB [rencana kerja dan anggaran biaya]," ujarnya.
Di samping itu, penyitaan sejumlah smelter timah di Bangka Belitung berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan orang yang bergantung dari fasilitas pengolahan tersebut.
"Masih banyak smelter timah belum beroperasi karena belum memperoleh persetujuan RKAB. Kemudian, menurunnya ekspor timah kurang lebihnya 40 persen dan menurunnya pertumbuhan ekonomi Babel triwulan I dari sebelumnya 4 persen menjadi 1 persen," kata Harwendro.
Peta permasalahan timah di Babel
Pun demikian, Harwendro mengatakan AETI telah memetakan sejumlah permasalahan industri pertambangan timah di Babel.
Pertama, pertambangan ilegal (PETI) yang banyak dilakukan masyarakat. Kedua, penggunaan alat tradisional berupa ponton isap produksi dan mesin semprot yang tidak ramah lingkungan.
"Sehingga, kami mendorong perusahaan yang memiliki IUP mengelola secara mandiri dan menerapkan good mining practice," ujarnya.
Masalah berikutnya adalah kerusakan lingkungan akibat penambangan yang tidak bertanggung jawab yang menyebabkan 41.510 ha tambang ditinggalkan begitu saja tanpa ada perbaikan.
Selanjutnya, banyak IUP tumpang tindih dengan zonasi lain.
"Contoh, ada kelapa sawit, ada masjid, atau sarana dan prasarana pemerintah. Nah, itu juga menjadi kendala di sana. Kemudian minimnya kegiatan eksplorasi karena jarang sekali pemilik IUP menemukan cadangan baru, sehingga ini juga menjadi problem permasalahan pertimahan ke depan," katanya.