Jakarta, FORTUNE - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) mencatatkan laba bersih US$92,7 juta sepanjang semester I-2023. Angka tersebut naik 30,1 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang sebesar US$71,3 juta.
Perseroan juga berhasil membukukan kenaikan pendapatan 11,9 persen menjadi US$206,7 juta dari tahun sebelumnya yang sebesar US$184,7 juta. Selain itu, EBITDA juga naik 13,3 persen year-on-year (yoy) menjadi US$175,5 juta hingga periode yang berakhir pada Juni 2023.
Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Nelwin Aldriansyah, mengatakan perseroan berhasil mempertahankan pertumbuhan kinerja keuangan seiring dengan penguatan operasional dan program efisiensi yang dijalankan.
“Posisi keuangan yang solid ini memacu kami untuk terus tumbuh secara berkelanjutan guna menyediakan energi hijau yang andal dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia,” ujar Nelwin dalam keterangan resminya, Rabu (26/7).
Dari sisi produksi, Pertamina Geothermal juga menorehkan angka yang positif, yaitu 2.397,2 GWh atau naik 7,7 persen yoy.
Sementara itu, total utang perseroan berkurang dari US$935 juta menjadi US$731 juta dengan utang bersih turun drastis menjadi hanya US$66,95 juta.
Dengan begitu, debt to equity ratio (DER) juga berkurang menjadi 39 persen dari akhir 2022 yang mencapai 75 persen.
Pencapaian tersebut, menurut Nelwin, menunjukkan bahwa perseroan telah berhasil mengelola keuangan dengan baik. “Sebagai world class green energy company, PGE akan terus memperkuat posisinya di sektor energi baru dan terbarukan (EBT) khususnya geothermal serta memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan energi hijau dan masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Tambah kapasitas terpasang
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy, Julfi Hadi, mengatakan perusahaannya telah mengidentifikasi potensi kapasitas terpasang tambahan dari PLTP lama miliknya. Saat ini, perseroan berencana menambah kapasitas terpasang 340 MW, sehingga total kapasitas pembangkit yang mereka kelola akan mencapai 1 GW, naik dari 672 MW saat ini.
"Ini menjadi immediate goal (tujuan jangka pendek) PGE yang akan dicapai dalam dua tahun ke depan," katanya.
Penambahan kapasitas tersebut akan dilakukan dengan mengoptimalkan sumur geothermal dengan suhu rendah agar bisa menghasilkan listrik, dengan menggunakan teknologi binary dan ESP (Electrical Submersible Pump) pada pembangkit listrik panas bumi.
Julfi mengatakan secara garis besar dalam pengembangan potensi geothermal di Indonesia, PGE mengalami dua tantangan, yaitu secara komersial dan teknologi. Namun tantangan pengembangan panas bumi tersebut, kata dia, akan dijawab PGE dengan maksimalisasi peluang komersial dan optimalisasi teknologi.
Lebih jauh mengenai peluang komersialisasi energi panas bumi ini, Julfi menjelaskan ada beberapa langkah yang akan dilakukan PGE. Dalam bentuk penggunaan langsung, kata dia, PGE mengutilisasi uap dan brine (selain untuk listrik) untuk berbagai keperluan masyarakat, misalnya geowisata, pemanasan langsung (direct heating).
Selanjutnya PGE juga memiliki rencana komersialisasi green hydrogen dan green methanol untuk Pembangkit Listrik Siklus Biner (Binary Cycle Power Plants). PGE saat ini, kata Julfi, sedang meneliti potensi ekstraksi silika dari proses pengolahan brine berlebih untuk produk bernilai tambah seperti semikonduktor dan gelas.
"Selain itu kami juga meningkatkan interkoneksi antara lokasi produksi geothermal dan Secondary Product di Pulau Sumatera," ujarnya.