Jakarta, FORTUNE - Sejumlah perusahaan semen di Indonesia mengalami tekanan margin akibat tingginya harga batu bara sebagai bahan baku campuran produknya. Perusahaan semen asal Thailand, Siam Cement Group (SCG), misalnya, mengaku harus membeli batu bara dengan harga pasar kendati pemerintah telah menetapkan harga domestic market obligation (DMO) US$90 per metrik ton.
Hal tersebut disampaikan Presiden Direktur SCG Indonesia, Chakkapong Yingwattanathaworn, dalam agenda Group Media Interview di SCBD Sudirman, Jakarta Selatan, Jumat (11/5). "Kami masih sulitlah (untuk mendapatkan harga DMO)," ujarnya kepada Fortune Indonesia.
Untuk menekan biaya bahan baku batu bara ke depan, SCG akan menerapkan teknologi manufaktur yang efisien sekaligus mengurangi limbah dan meningkatkan proporsi energi alternatif seperti biomassa dan tenaga surya.
Contohnya dengan menginisiasi teknologi refuse-derived fuel (RDF) melalui dua anak usahanya, yakni PT Semen Jawa dan PT Tambang Semen Sukabumi. Proyek ini akan digunakan untuk menghasilkan energi dari limbah yang diharapkan dapat membantu target pemerintah, yakni 30 persen pengurangan sampah dan 70 persen penanganan sampah pada 2025.
"Targetnya 20 persen dari batu bara bisa digantikan dengan biomassa pada 2030," ujarnya sembari menambahkan bahwa perusahaan menargetkan zero net emissions di seluruh area operasionalnya pada 2025.
Laba SCG kuartal II-2022 tergerus
Meski harga batu bara naik, SCG tetap mencatatkan kinerja cukup memuaskan. Pada kuartal kedua lalu, perusahaan membukukan pendapatan Rp63,56 triliun (US$4,43 miliar) yang secara kuartalan (qtq) stabil, tetapi meningkat 14 persen secara tahunan (yoy).
Kondisi ini didorong oleh peningkatan penjualan di seluruh klinik bisnis dan kenaikan harga produk di pasaran. Kendati demikian, laba SCG juga tergerus 42 persen menjadi Rp4,14 triliun (US$288 juta) akibat kenaikan harga minyak dunia dan penurunan pendapatan ekuitas pada lini bisnis bahan kimia.
Jika dilihat kuartalan, laba naik 12 persen berkat pendapat dividen dari bisnis investasi. Pendapatan dari penjualan paruh pertama 2022 mencapai Rp130,54 triliun (US$9,04 miliar), atau tumbuh 19 persen secara yoy.
Fitur ekspor dimatikan karena tak patuhi DMO
Sebelumnya, Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menuturkan pemerintah terus menegakkan aturan DMO batu bara melalui Minerba Online Monitoring System (MOMS). Dengan aplikasi tersebut, misalnya, pemerintah dapat melakukan pengenaan sanksi seperti penonaktifan fitur ekspor.
Hal ini telah dilakukan terhadap 29 dari 50 perusahaan yang tak menjalankan kewajiban DMO kepada industri nonkelistrikan Tanah Air, yakni semen dan pupuk. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan itu belum bisa melakukan pengiriman barangnya ke luar negeri hingga hari ini.
Arifin mengatakan fitur ekspor 21 perusahaan lain belum dinonaktifkan karena beberapa alasan. Perinciannya, dua perusahaan dalam sanksi penghentian sementara; lima perusahaan memiliki spesifikasi produk yang tidak sesuai kebutuhan industri semen dan pupuk; dan satu perusahaan terkena kasus hukum.
Kemudian, ada pula 13 perusahaan dalam proses penonaktifan fitur ekspor dan tinggal menunggu tanggapan Asosiasi Semen Indonesia, pembicaraan, dan proses analisis kualitas, serta masih melakukan negosiasi dengan industri semen serta pupuk.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, kelima puluh perusahaan tersebut merupakan bagian dari 94 perusahaan yang mendapatkan penugasan DMO untuk industri pupuk dan industri semen. Artinya, tingkat kepatuhan perusahaan batu bara yang mendapat penugasan DMO untuk industri semen dan pupuk di bawah 50 persen atau hanya 44 perusahaan.
Per akhir Juli 2022, dari 44 perusahaan yang mematuhi ketentuan, total volume DMO yang telah terealisasi adalah 2,88 juta ton atau 44 persen dari penugasan yang sebesar 4,71 juta ton.