Jakarta, FORTUNE - Lembaga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (Unctad) menyebutkan arus perdagangan dunia pada sepanjang kuartal ketiga tahun ini mencetak nilai tertinggi sepanjang sejarah. Meski demikian, rekor nilai itu terjadi dengan tidak merata baik pada negara maupun sektor.
Berdasarkan laporan Global Trade Update Unctad terbaru, pada Juli-September 2021, total nilai ekspor dan impor barang dunia tercatat mencapai US$5,6 triliun atau setara Rp79.800 triliun (asumsi kurs Rp14.250). Menurut lembaga tersebut, angka itu merupakan rekor kuartalan tertinggi sepanjang masa.
“Tren positif perdagangan internasional pada 2021 sebagian besar merupakan hasil dari pemulihan permintaan yang kuat karena meredanya pembatasan pandemi, paket stimulus ekonomi, dan kenaikan harga komoditas,” demikian pernyataan Unctad dalam rilisnya, seperti dikutip, Kamis (2/12).
Unctad juga memproyeksikan bahwa nilai perdagangan barang (dan jasa) pada keseluruhan tahun ini akan mencapai US$28 triliun atau sekitar Rp399.000 triliun. Angka itu meningkat 23 persen dari 2020 dan juga lebih tinggi 11 persen dari era sebelum pandemi Covid-19.
Namun, mereka belum bisa memperkirakan nilai arus perdagangan global pada 2022. Sebab, masih ada sejumlah ketidakpastian, yaitu: dampak Covid-19 terhadap permintaan, tekanan pada rantai pasok, lonjakan biaya pengiriman, hambatan suplai semikondutor, dan prospek ekonomi Tiongkok (karena dominan terhadap perdagangan dunia).
Rekor tapi timpang
Laporan yang sama menyebutkan—meski rekor—pemulihan arus perdagangan barang dan jasa masih belum merata. Sektor perdagangan jasa seperti pariwisata, misalnya, pada tahun ini masih akan tetap sedikit di bawah tingkat pra pandemi Covid-19.
Pada sektor manufaktur, trade-in terkait produk energi tumbuh paling besar, berkat tingginya permintaan dan kenaikan harga bahan bakar fosil. Sedangkan, industri otomotif dan elektronik perdagangannya terdampak kelangkaan semikonduktor global.
Jika ditelisik dari perspektif kewilayahan, pada periode yang sama, pertumbuhan perdagangan juga timpang. Arus perdagangan meningkat lebih kuat pada negara-negara berkembang ketimbang negara ekonomi maju, kata laporan itu.
Kondisi tersebut, menurut Unctad, terjadi, misalnya, di India. Sedangkan, arus perdagangan Tiongkok relatif stabil meskipun sudah pada tingkat yang tinggi.
Surplus perdagangan Indonesia
Beriring dengan tren dunia, Indonesia saat ini juga tengah menikmati pemulihan kinerja perdagangan yang signifikan. Fakta dari hal tersebut bisa dilihat dalam data Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut BPS, pada Oktober 2021, Indonesia beroleh surplus perdagangan mencapai US$5,73 miliar (sekitar Rp81,7 triliun). Nilai itu merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah serta memecahkan rekor US$4,37 miliar pada bulan sebelumnya. Secara kumulatif, pada Januari-Oktober tahun ini, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$30,81 miliar (Rp439,0 triliun), atau tumbuh 82,0 persen secara tahunan.
“Jika surplus perdagangan terus konsisten pada triwulan empat 2021, maka tahun ini Indonesia akan mendapatkan surplus terbesar pertama kali dalam sejarah,” kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dalam keterangan di Jakarta, Rabu (17/11), seperti dikutip dari Antara.
Secara mendetail, surplus itu tercipta akibat nilai ekspor yang lebih tinggi daripada impor. Pada periode sama, ekspor tumbuh 41,80 persen menjadi US$186,32 miliar (Rp2.655 triliun). Komoditas yang berkontribusi banyak terhadap ekspor, terdiri dari: lemak dan minyak hewan nabati (menyumbang 15,48 persen), dan BBM (14,42 persen).
Nilai impor Indonesia juga tumbuh 35,86 persen menjadi US$155,51 miliar (Rp2.216 triliun). Ada pun di periode sama Indonesia banyak mengimpor barang, seperti: mesin dan peralatan mekanis dan mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya.