PHK Massal Ternyata Bisa Jauh Lebih Merugikan bagi Perusahaan

PHK belum tentu menjawab kondisi keuangan sulit.

PHK Massal Ternyata Bisa Jauh Lebih Merugikan bagi Perusahaan
Ilustrasi pemimpin perusahaan. Shutterstock/JOKE_PHATRAPONG
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Di antara kabar tren pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pada berbagai industri saat ini, termasuk sektor teknologi, satu hal yang sering dibahas adalah dampaknya terhadap karyawan. Mesti diakui, pekerja adalah pihak yang secara umum dipandang merasakan langsung efek efisiensi bisnis.

Bagi mereka yang terkena kebijakan PHK massal, masalahnya tidak berhenti di situ. Sebab, mereka segera mencari pekerjaan demi meneruskan penghidupan demi memenuhi kebutuhan diri (dan keluarga).

Namun, PHK massal ternyata mengharuskan perusahaan untuk mengeluarkan ongkos lebih besar. Ada beberapa dampak negatif pemecatan besar-besaran terhadap organisasi: ancaman penurunan produktivitas, raibnya pengetahuan berharga, hingga penurunan harga saham.

Berdasar atas sejumlah perkiraan, lansir Fortune.com, Rabu (1/2), lebih dari 58.000 pekerja teknologi di Amerika Serikat telah terkena PHK sepanjang tahun ini. Dan, itu pun hanya dari satu industri. Sebab, PHK massal kemungkinan akan terus bergulir dan sebagian besar karena adanya perusahaan yang latah mengikutinya. Sisanya adalah perusahaan yang mengevaluasi kebijakan perekrutan besar-besaran pada tahun-tahun sebelumnya.

Menurut survei asosiasi riset global, Conference Board, 98 persen CEO AS memperkirakan resesi akan terjadi pada masa mendatang. Sebagai respons atas perkiraan kemerosotan ekonomi, mereka berusaha keras untuk memotong anggaran perusahaan, salah satunya dengan memangkas karyawan.

Namun, apakah PHK menjadi jawaban yang tepat secara finansial? Sejumlah penelitian justru menunjukkan dampak efisiensi karyawan terhadap keuangan perusahaan bisa jadi semu. Justru, kebijakan pemangkasan karyawan menyimpan ongkos lebih besar di kemudian hari, dan hal tersebut acap kali tidak disadari oleh pemimpin bisnis.

1. PHK itu mahal

ilustrasi PHK (unsplash.com/Christian Erfurt)

Sejak awal, biaya untuk melakukan PHK massal itu mahal. Kasus Microsoft bisa jadi misal. Perusahaan pembuat Windows itu mengumumkan akan menanggung US$1,2 miliar untuk biaya PHK, termasuk pembayaran pesangon, tunjangan, cuti yang masih harus dibayar, dan lain-lain.

Sementara, kondisi ekonomi bersifat musiman. Saat kelesuan ekonomi berakhir, perusahaan akan kembali merekrut pekerja. Namun, hal itu menjadi tidak mudah waktu dan biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Apalagi, karyawan baru perlu melewati proses orientasi dan pelatihan sebelum mereka menjadi benar-benar produktif.

Maka, dengan sejumlah pertimbangan barusan, PHK bisa jadi tidak menghemat anggaran sepeser pun. “Kehilangan pekerjaan dapat menghasilkan biaya yang lebih besar daripada keuntungan,” demikian penelitian dari perusahaan konsultan Bain & Company. Terlebih jika prediksi bahwa resesi akan bersifat ringan dan berumur pendek, seperti yang diperkirakan banyak ekonom di AS tahun ini.

Kasus Northwest Airlines dapat menjadi contoh berkenaan dengan hal tersebut. Menjelang era Depresi Besar, maskapai penerbangan itu memecat ratusan pilot. Namun, ketika perekonomian pulih, perusahaan transportasi itu tidak dapat mempekerjakan pilot dengan cukup cepat, dan kehilangan pendapatan jutaan dolar dari penerbangan yang dibatalkan.

2. Produktivitas melorot

ilustrasi karyawan di perusahaan (freepik.com/Tirachardz)

Produktivitas perusahaan akan menurun, bahkan sebelum dan selama terjadinya PHK, dan setelah kebijakan efisiensi karyawan tuntas. Pada gilirannya, itu dapat berdampak negatif terhadap profitabilitas.

Kecemasan, rumor, dan informasi palsu akan menyeruak selama—atau setelah—PHK. Pekerja yang lolos dari pemecatan akan lebih sering memikirkan dirinya sendiri alih-alih perusahaan, serta lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergosip, dan menyiapkan resume (untuk melamar pekerjaan lain).

Menganalisis berbagai penelitian, para peneliti dari University of Colorado, University of Portland, dan Texas A&M mengutip penurunan produktivitas di antara para pekerja yang lolos dari pemecatan.

Dalam istilah yang lebih terukur, penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association menemukan bahwa setelah PHK, terjadi penurunan kinerja dari karyawan yang tetap tinggal hingga sekitar 20 persen.

3. Kehilangan pengetahuan

ilustrasi pekerja kantoran (unsplash.com/LinkedIn Sales Solutions)

Seiring pekerja yang pergi karena PHK, perusahaan akan kehilangan pengetahuan berharga dari mereka. Namun, dampaknya bisa lebih luas dari yang diharapkan para pemimpin bisnis.

“Perampingan karyawan tidak saja berisiko menghancurkan pengetahuan organisasi yang berharga pada tingkat individu dan jaringan sosial, tetapi juga dapat sangat mengganggu prosedur, rutinitas, dan budaya organisasi yang telah ditetapkan,” begitu para peneliti menyimpulkan dalam tinjauan komprehensif literatur relevan yang diterbitkan dalam Pembelajaran Manajemen .

"Efek yang lebih tidak langsung ini dapat memiliki konsekuensi jangka panjang yang parah,” ujarnya.

4. Respons negatif dari Wall Street

Bursa saham Amerika Serikat yang terletak di 11 Wall Street, Lower Manhattan, New York City. Di bursa saham tersebut miliaran dolar saham diperdagangkan setiap hari. Shutterstock/orhan akkurt

Laporan dari Bain menemukan bahwa jika sebuah perusahaan memberhentikan karyawan sebagai bagian dari restrukturisasi atau merger strategis yang lebih besar, investor dapat mendorong kenaikan saham.

Namun, jika PHK hanya bertaut dengan soal pemotongan biaya, investor Wall Street merasakan masalah, dan biasanya menurunkan harga saham. Sebagai contoh, saham Hasbro turun 9 persen ketika perusahaan mengumumkan pada akhir Januari akan merumahkan 1.000 karyawan.

Yang pasti, PHK mungkin tidak dapat dihindari dalam guncangan ekonomi yang tiba-tiba dan parah—katakanlah, pandemi global yang terjadi sekali dalam satu abad.

Namun, beberapa perusahaan besar telah menolak melakukan pemecatan massal selama 70 tahun atau lebih, termasuk selama pandemi. Toyota menghindari pemutusan hubungan kerja pada resesi 2008-09, bahkan ketika General Motors, Ford Motor, dan Chrysler memberhentikan puluhan ribu pekerjanya.

Sementara, Lincoln Electric, pembuat peralatan las besar yang berbasis di Ohio dengan pabrik di seluruh dunia, tidak memberhentikan karyawannya setidaknya dalam 75 tahun. Saham perusahaan itu bahkan baru-baru ini mendekati level tertinggi sepanjang masa.

Magazine

SEE MORE>
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024
[Dis] Advantages As First Movers
Edisi Maret 2024
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024

IDN Channels

Most Popular

OPEC+ Sepakat Tunda Kenaikan Produksi Minyak Hingga November
Bisnis Manajemen Fasilitas ISS Tumbuh 5% saat Perlambatan Ekonomi
7 Jet Pribadi Termahal di Dunia, Harganya Fantastis!
Gagal Tembus Resisten, IHSG Diprediksi Konsolidasi
Fitur AI Jadi Alasan Canva Naikkan Harga hingga 300%
Pertamina Siapkan 15 Persen Belanja Modal untuk Transisi Energi