Jakarta, FORTUNE - Daftar perusahaan properti Tiongkok yang mengalami gagal bayar atas surat utang atau obligasi sepertinya bertambah. Terkini, Modern Land China dikabarkan melewati tenggat pembayaran obligasinya. Kabar ini pun menambah kecemasan terkait krisis properti di negeri itu setelah hal yang sama menimpa Evergrande Group.
Melansir The Straits Times, Rabu (27/10), Modern Land yang berbasis di Beijing dilaporkan tidak membayar pokok maupun bunga obligasi senilai US$250 juta atau sekitar Rp3,56 triliun. Obligasi perusahaan yang bergerak di subsektor rumah hemat energi ini seharusnya jatuh tempo pada Senin (25/10).
Modern Land menyatakan tidak sanggup membayar obligasinya karena “masalah likuiditas tak terduga”. Kini, perusahaan tengah berkoordinasi dengan penasihat hukumnya untuk segera mencari penasihat keuangan independen.
Perusahaan sebenarnya sudah berencana memperpanjang jatuh tempo obligasi selama tiga bulan, Namun, pekan lalu rencana tersebut dibatalkan. Perpanjangan itu dianggap bukan keputusan terbaik bagi perusahaan maupun pihak-pihak berkepentingan.
Pembatalan tersebut nyatanya tetap berdampak pada penilaian perusahaan. Lembaga pemeringkat internasional berbasis di New York, Fitch Ratings, memangkas peringkat utang perusahaan Modern Land dari “B” menjadi “C”. Rencana perpanjangan waktu jatuh tempo, menurut Fitch, mengindikasikan ada pertukaran utang yang tertekan.
Berdasarkan catatan terbaru, Rabu (27/10), Fitch Ratings kembali memangkas peringkat utang perusahaan menjadi RD (restricted default). Ini mengkhawatirkan sebab hanya satu peringkat di atas Default. Artinya pula, Modern Land telah mengalami gagal bayar, tetapi belum mengajukan pailit atau pembubaran.
Krisis properti Cina meluas
Perkara Modern Land kian menambah keresahan di pasar properti Tiongkok. Apalagi, Evergrande Group juga dikabarkan nyaris menghindari default kewajibannya US$300 miliar atau lebih dari Rp4.700 triliun. Bahkan, Fantasia Holdings Group juga dikabarkan tak berhasil membayar jatuh tempo obligasi dolarnya.
Sepanjang tahun ini para debitur Tiongkok secara keseluruhan mengalami gagal bayar obligasi luar negerinya US$8,7 miliar atau lebih dari Rp123 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar sepertiga di antaranya disumbang oleh industri real estate. Demikian warta The Straits Times.
Pemerintah Tiongkok dikabarkan turut berperan dalam mengatasi masalah krisis properti ini. Para perencana keuangan negara bertemu dengan perusahaan properti terutama yang memiliki utang luar negeri besar. Pemerintah meminta mereka untuk mengoptimalkan struktur utang luar negerinya dan membayarkan bunga maupun pokok obligasinya.
Seiring masalah krisis yang menimpa pasar properti, diperkirakan saham sektor tersebut ikut terdampak, selain pula terciprat sentimen negatif rencana pajak untuk real estate. Hal ini tampak dari Indeks Real Estate CSI Cina yang menurun 2,6 persen dan Indeks Properti Daratan yang merosot 5 persen.