Jakarta, FORTUNE - Tak hanya menimpa pekerja biasa, tren pengunduran diri besar-besaran (The Great Resignation) tampaknya juga terjadi pada pimpinan perusahaan, khususnya Chief Executive Officer atau CEO. Temuan ini terungkap dalam sebuah studi dari perusahaan perekrutan Heidrick dan Struggles.
Melansir Reuters, Jumat (19/11), studi tersebut menemukan tren pergantian CEO yang melojak pada paruh pertama 2021. Kondisi sedemikian terjadi karena para kepala eksekutif mengalami stress serta mencari perubahan karir. Di saat sama, perusahaan juga mencari bakat baru demi mengarahkan perusahaan pada masa pasca pandemi kelak.
Studi itu mengindikasikan bagaimana seorang CEO juga memiliki nasib yang sama dengan ratusan juta pekerja di seluruh dunia: menderita kelelahan sejak awal pandemi. Ini seturut dengan langkah untuk mempertimbangkan pekerjaan atau gaya hidup baru di tengah tren The Great Resignation.
"Keyakinan kami adalah bahwa itu akan berlangsung cepat pada tahun depan karena orang-orang telah menunda masa pensiun mereka," kata Jeff Sanders, mitra pengelola bersama CEO dan dewan praktik global Heidrick.
Berdasarkan data dari studi tersebut, pada semester pertama 2021, ada 103 penunjukkan CEO dari 1.095 perusahaan di 24 wilayah, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, dan sejumlah negara Eropa. Padahal, pada periode sama tahun sebelumnya, hanya ada 49 perusahaan yang berganti CEO.
Sebagaimana diberitakan Fortune, Senin (15/11), tren pengunduran diri besar-besaran di kalangan pekerja AS tak juga membaik. Departemen Tenaga Kerja AS mencatat, pada September 2021, 4,4 juta orang mengundurkan diri dari pekerjaannya, naik 3 persen dari Agustus, dan menjadi rekor tertinggi.
Kerja daring melelahkan bagi CEO
Sanders berkata, pada tahun lalu, sebagian besar perusahaan memang mempertahankan pemimpin mereka terutama ketika menghadapi tantangan pandemi. Namun, seiring program vaksinasi massal , perusahaan merasa cukup stabil untuk menemukan pimpinan baru.
"Banyak CEO tidak harus bepergian terlalu banyak, yang membantu mereka menghemat energi, katanya. “Tetapi berkomunikasi secara virtual dalam media baru itu melelahkan," katanya.
Bersamaan, banyak dewan perusahaan yang enggan bertemu dengan kandidat CEO dari luar perusahaan secara fisik karena risikonya yang besar. Sebaliknya, kandidat dari internal yang menjadi favorit. Menurut studi, hampir dua pertiga dari CEO baru adalah kandidat internal, naik dari setengah (satu per dua) pada periode sama 2020.
Inklusivitas dan kesetaraan
Di luar soal The Great Resignation, studi yang sama juga mengungkapkan soal perkembangan inklusivitas dan kesetaraan gender pada tempat kerja. Pada semester satu 2021, sebanyak 13 persen CEO merupakan wanita, naik dari 6 persen pada periode sama tahun sebelumnya.
Namun, langkah itu tidak mengarah pada langkah besar dalam hal keberagaman, kata penelitian yang sama. Ditemukan bahwa dari CEO Fortune 100, baru sebanyak 3 persen yang merupakan pimpinan berkulit hitam. Sisanya, Hispanik atau Latin (4 persen), Asia (4 persen), dan Timur Tengah atau Afrika Utara (1 persen).
"Saya tidak berpikir (keragaman CEO) adalah tempat yang dibutuhkan," kata Sanders.