Jakarta, FORTUNE - PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) atau ITM dikenal sebagai salah satu pemberi dividen terbesar di antara perusahaan batu bara raksasa di Indonesia. Pemimpinnya saat ini bernama Mulianto.
Mulianto sendiri bukanlah nama baru di dunia pertambangan Indonesia. Sudah hampir tiga dekade Direktur Utama ITM ini berkecimpung dalam bisnis emas hitam, tapi tak mudah menemukan hikayatnya. Pria 54 tahun ini tak terlalu suka unjuk gigi di media.
Untungnya, setelah beberapa kali percobaan, Fortune Indonesia akhirnya berkesempatan menemui Master of Business Administration National University Singapore (2021) itu di kantornya yang berada di Kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berkemeja batik lengan pendek hijau dan celana bahan, Mulianto membagikan banyak kisah. Ia menjawab pertanyaan dengan lugas, sembari sesekali ia berkelakar.
Berkali-kali ia mengucap kata ‘beruntung’ saat menuturkan perjalanan kariernya. Dalam hematnya, keberuntungan demi keberuntungan itu membuatnya mengantongi pengalaman profesional berbeda: konsultan dan pekerja korporasi. “Saya beruntung ya, karena dari dulu memiliki banyak bos yang baik-baik. Saya banyak belajar sepanjang karier,” katanya.
Keberuntungan pertama Mulianto adalah saat pertama kali terjun ke dunia kerja di tingkat akhir perkuliahan. Karena diajak teman, ia berkesempatan mengawali kariernya sebagai auditor di KAP Budi Darmodjo, Semarang. Dari dua seniornya, Budi Darmodjo dan Handoyo, ia belajar mengimplementasikan apa yang dipelajarinya di kampus ke dunia kerja.
Kala itu, ia hanya tinggal mengerjakan skripsinya sebagai mahasiswa S-1 Akuntansi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dus, di penghujung masa kuliah, Mulianto harus rela bolak-balik Yogyakarta–Semarang demi memenuhi dua kewajibannya sekaligus. “Dulu kan kayaknya kalau bisa kerja sambil kuliah itu, keren, ya?” Kelakarnya.
Tidak lama selepas memulai karier di Semarang, keberuntungan kedua menghampiri Mulianto. Salim Inti Corpora, bagian dari Grup salim, secara khusus membuka kesempatan bergabung dengan mereka melalui bursa kerja (job fair) di kampusnya. Sebelum kepemilikan ITM berpindah ke Banpu, perusahaan tambang itu adalah bagian dari Grup Salim.
Mulianto pun mengirimkan lamaran. Ia kemudian diterima oleh ITM pada November 1995, hanya sebulan setelah resmi lulus dari Atma Jaya. Ia pertama kali ditempatkan di PT Indominco Mandiri, salah satu anak usaha ITM. Jika berhasil masuk ITM adalah keberuntungan kedua, maka yang ketiga adalah penempatannya di Indominco. Mengapa demikian? Selain karena perkembangan pesat Indominco saat itu, rencana ekspansi masa depan Indominco juga membuka peluang-peluang baru untuknya. Khususnya di tengah kondisi ketika tambang-tambang besar masih dikelola secara tradisional kala itu.
“Indominco itu diharapkan bisa jadi salah satu tambang di bawah ITM yang modern. Jadi saya ikut terlibat di sana. Mulai dari ikuti proyeknya, sampai diskusi dengan lender-nya. Di situ saya juga cukup beruntung,” katanya. “Artinya banyak belajar dari sisi manajemen proyek, akuntansi, kontrol bujet, perpajakan, lalu juga bertemu dengan kontraktor-kontraktor waktu itu.”
Nilai dari kepercayaan
Sama seperti di Budi Darmodjo, Mulianto pun dapat mengenal para pemimpin hebat selama di Indominco. Misalnya, atasannya yang bernama Hidajat Solaiman, sosok yang membuatnya banyak mendalami soal pemberdayaan. Di bawah arahannya, Mulianto bebas berkreasi dalam menentukan fungsi pengendalian bujet perusahaan. Atau seniornya yang lain, yakni Rudijanto Boentoro (Alm), yang mengajarkan bagaimana menjadi mentor yang dekat dengan anggota tim.
Kepercayaan mereka membuat Mulianto merasa dihargai. Apalagi, karena tergolong lulusan baru, posisinya di Indominco masih termasuk entry level. Tapi ia tak keberatan. “Proses itu kematangan. Itu penting sih. Karena kita memang melewatinya dengan proses yang pelan-pelan,” ujarnya.
Pada masa awal bekerja di ITM, Mulianto dipromosikan rata-rata setiap 1–2 tahun. Prestasi itu dicapainya bukan karena ambisius dan sering lembur, tapi lebih karena diberi kesempatan yang diberikan oleh para mentornya. Maka, dari sosok akuntan yang berorientasi pada angka, Mulianto pun kemudian bermetamorfosis menjadi lebih mengedepankan kepemimpinan, hingga berhasil melesat ke jajaran top manajemen.
Itu juga sebuah keberuntungan bagi Mulianto. Apalagi, ia mulai menjadi Presiden Direktur ITM pada Mei 2020. Problem yang ia hadapi begitu banyak saat itu. Pandemi Covid-19 baru melanda, harga batu bara kala itu anjlok ke bawah US$50 per ton. Baginya, itu pengalaman yang sangat luar biasa.
Maka, yang dilakukannya saat itu adalah konsolidasi bersama seluruh tim. Ia berembuk dengan para direksi, kepala tambang, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya. Dalam jangka pendek, ia menetapkan tiga pilar demi mempertahankan ITM di tengah berbagai guncangan tersebut, pengamanan sumber daya manusia, lalu bisnis, kemudian komunitas.
“Kami laksanakan dengan konsisten, dari 2020–2022. Saya sampai merinding kalau ingat itu sekarang,” ujarnya.
Ia mendahulukan aspek manusia karena krisis yang terjadi saat itu bermula pada aspek kesehatan. Maka, perusahaan harus memastikan pekerja cukup aman untuk menjalankan bisnis (pilar kedua) dan berkontribusi terhadap masyarakat (pilar ketiga). Untuk memastikan operasional berjalan lancar, Mulianto hampir seminggu dua kali menggelar rapat demi memonitor kesehatan dan situasi operasional perusahaan. ITM berkeras tak melakukan PHK, juga tak memotong gaji pegawai di tengah masa sulit itu.
Beruntung, harga batu bara kemudian menanjak pada 2021 dan terus mencapai puncaknya pada 2022. Masalahnya, virus corona belum juga bisa dijinakkan. Maka, kegiatan operasional tetap harus dilakukan dengan protokol kesehatan. Tetap saja, Mulianto sendiri sempat dua kali tertular virus corona. Ia pun bersyukur dapat melalui semuanya dengan selamat.
“Dulu [saat dijalani] sepertinya merasa hopeless. Kok tidak selesai-selesai?” kenangnya.