Jakarta, FORTUNE - Meski belasan juta orang Indonesia telah berjibaku dengan aktivitas berdagang daring (e-commerce), penyebarannya masih berpusat di Pulau Jawa, demikian laporan bertajuk "Beyond Unicorns" dari Bank Dunia yang dirilis pada akhir Juli. Padahal, memperluas jangkauan aktivitas e-commerce juga dapat membantu pemerataan ekonomi.
Ada beberapa kendala yang menghambat penyebaran aktivitas e-commerce di Tanah Air. Apa saja? Lalu, bagaimana cara mengatasinya, agar kegiatan berjualan daring tak hanya berpusat di Pulau Jawa?
Mengacu pada hasil temuan dalam laporan Bank Dunia itu, mari simak ulasan berikut tentang hambatan dan cara menyiasati penyebaran kegiatan e-commerce hingga ke area pedesaan.
1. Konektivitas Internet dan Logistik Pengaruhi Penyebaran Aktivitas E-Commerce
Bukan tingkat pendapatan saja yang berpengaruh pada jumlah penjual dan pembeli e-commerce, faktor seperti penetrasi internet, listrik, harga logistik, dan UMR populasi juga berperan penting.
Para peneliti dalam laporan Beyond Unicorns menyebut, aksesibilitas internet di antara populasi dan harga logistik berdampak pada pertumbuhan aktivitas e-commerce. Artinya, penetrasi kegiatan jual-beli daring meningkat lebih pesat di provinsi dengan akses internet merata dan harga logistik yang cenderung menurun.
Terlebih, di negara kepulauan seperti Indonesia, logistik tentunya menjadi tantangan besar dalam mengirim produk jualan daring. Ada ketimpangan kondisi jalur di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Denpasar ketimbang dengan kota terpencil.
2. Inovasi Berbasis Teknologi Bantu Tangani Tantangan Logistik
Di tengah tantangan logistik yang menghambat penyebaran aktivitas jual-beli daring, hadir layanan logistik berbasis aplikasi, seperti GoSend, GrabExpress, Paxel, AnterAja, dan sebagainya.
Menurut survei Paxel pada 2019, pembeli dan penjual e-commerce yang siap membayar lebih untuk pengiriman lebih cepat semakin bertambah. Akibatnya, ongkos kirim per paket pun menjadi lebih mahal.
Pada akhirnya, para perusahaan logistik berbasis teknologi melahirkan model dan strategis bisnis baru karena fenomena itu. Mereka mulai menyediakan layanan pengiriman antarkota yang terjangkau, baik itu sampai di hari yang sama maupun besoknya.
Meski begitu, upaya inovatif itu mayoritas masih berlaku di daerah perkotaan besar dan kota-kota satelitnya.
Karena itu, para pemain e-logistic memiliki PR untuk mengembangkan efisiensi pengiriman, memperluas kota untuk layanan pengiriman hari yang sama--tetapi dengan harga serupa dengan Pulau Jawa, hingga mempercepat pengiriman ke luar Jawa, Sumatra, dan Bali.
3. Rendahnya Adopsi Pembayaran Digital
Berdasarkan survei World Bank Digital Economy Household Survey (2020), 58 persen pembeli daring lebih memilih metode pembayaran COD (Cash on Delivery), diikuti dengan transfer dan ATM (32 persen).
Rendahnya penggunaan pembayaran digital ini dipengaruhi oleh kesadaran dan kepercayaan konsumen, hambatan peraturan, kurangnya infrastruktur yang sesuai, serta margin yang kecil bagi penyedia layanan. Semua itu berdampak pula pada pertumbuhan aktivitas jual-beli secara daring di Indonesia.
4. Belajar dari Taobao di Tiongkok
Indonesia dapat memaksimalkan potensi e-commerce dengan mengembangkan dan menerapkan solusi inovatif guna mengidentifikasi dan mempromosikan produk lokal, meningkatkan produktivitas UMKM, dan memperkuat kapasitas mereka untuk terhubung ke ekosistem.
Sebagai gambaran, sekitar 13,2 juta dari 127 juta pekerja (10,4 persen) di Indonesia terlibat dalam aktivitas e-commerce pada 2019, baik sebagai mata pencaharian primer maupun sekunder. 71 persen di antaranya menjual produk melalui media sosial dan aplikasi pemesanan, 3 persen lewat marketplace daring, dan 26 persen mengombinasikan keduanya.
Secara keseluruhan, aktivitas e-commerce di Indonesia masih didominasi oleh bisnis C2C (customer to customer). Di Tiongkok, platform yang mengusung model bisnis itu adalah TaoBao Marketplace.
Taobao sukses dengan Desa Taobao di Tiongkok, sesuatu yang dapat dipelajari oleh Indonesia. Desa Taobao adalah pusat pengembangan e-commerce di desa-desa Tiongkok. Kota Taobao paling tidak mempunyai tiga Desa Taobao.
Pedesaan dengan label ‘Desa Taobao’ setidaknya memiliki 10 persen rumah tangga yang terlibat dalam aktivitas e-commerce, dengan sekitar 100 toko daring yang aktif. Masing-masing penjual menghasilkan setidaknya 10 juta yuan (sekitar Rp22,11 miliar).
Sektor publik dan swasta di Indonesia mulai belajar dari keberhasilan Desa Taobao untuk mendorong e-commerce pedesaannya. Instansi lokal di tingkat kecamatan dan desa mulai menginisiasi program desa digital, didukung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Beberapa di antaranya berhasil menjual produk lokal ke pasar nasional, bahkan bisa sekaligus mempromosikan situs wisata lokal. Akan tetapi, jalan masih panjang. Menurut laporan Bank Dunia, baru sekitar 10 persen dari 74.957 desa di Indonesia yang terdaftar di Sistem Informasi Desa dan Kawasan (SiDeKa).
Pantauan Fortune Indonesia pada Kamis pukul 19.56 WIB, ada 7.276 desa terdaftar di SiDeKa. 1.798 berdomain desa.id, sedangkan 5.394 lainnya berdomain sideka.id.
Peluang untuk memperluas jangkauan aktivitas jual-beli daring di negara ini masih besar. Dibutuhkan upaya dari para pelaku industri dan pemerintah pusat dan daerah untuk memaksimalkan potensi tersebut.