BRIN Sebut Restoran RI di Luar Negeri Butuh Keandalan Rantai Pasok
Mayoritas restoran memiliki omzet mencapai Rp300 juta.
Jakarta, FORTUNE – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa pemngembangan restoran-restoran Indonesiadi luar negeri membutuhkan sebuah ekosistem rantai pasok mumpuni. Eksportir khusus bahan baku bumbu-bumbu, pembiayaan pun diperlukan untuk mengetahui kebutuhan ekspor dan standar regulasi di tiap negara.
Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN, Zamroni, mengatakan pihaknya telah melakukan kajian untuk sektor bisnis restoran di luar negeri. “Harapan dari kami juga membentuk hub (untuk) bumbu-bumbu yang lebih lengkap, bisa bentuknya didanai BUMN atau juga diserahkan kepada swasta, dan ini perlu kajian lebih lanjut,” katanya dalam weekly press briefing Kemenparekraf, Senin (14/11).
Penugasan Khusus Ekspor (PKE) soal impor bahan baku bumbu-bumbu, kata Zamroni, memang penting, meski bukan faktor utama. Menurutnya, program seperti Indonesia Spice Up The World (SUTW) diharapkan mampu memberikan informasi yang tepat bagi para eksportir maupun restoran-restoran Indonesia yang membutuhkan pasokan tersebut.
Ratusan restoran Indonesia di luar negeri
Sementara itu, Deputi Kebijakan Strategis Kemenparekraf, Dessy Ruhati, menambahkan, saat ini ratusan restoran Indonesia sudah tersebar di seluruh dunia.
“Paling banyak di Belanda, 295 restoran, Australia sebanyak 162 restoran, Amerika Serikat 89 restoran, Malaysia 70 restoran, dan Jepang ada 66 restoran,” katanya dalam acara yang sama.
Dari kajian yang dilakukan Kemenparekraf bersama BRIN, restoran-restoran ini punya pola khas yang mirip, di mana pemilik restoran juga berperan sebagai pengelola. Selain itu, usaha restoran ini bentuknya beragam, mulai dari gerai, all you can eat, hingga cloud kitchen. “Masing-masing mayoritas restoran (43 persen) memiliki omzet kurang dari Rp300 juta, dan besaran pembiayaan yang dibutuhkan sekitar Rp1-5 miliar,” ujar Dessy.
Adapun kebutuhan pinjaman memiliki tenor bervariasi mulai satu sampai lima tahun, dengan bunga yang berkisar antara satu hingga tiga persen. Selain itu, masalah yang masih dihadapi adalah pasokan bahan baku, termasuk rempah-rempah yang digunakan dalam banyak makanan Indonesia.
Program Kenarok
Di dalam negeri, Kemenparekraf bersama beberapa mitra tengah memperkuat bisnis kuliner lokal melalui program Kenarok (Kemitraan nasional Rantai Pasok Industri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Fokusnya, mengoptimalkan rantai pasok produk ekonomi kratif, agar bisa masuk industri pariwisata.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf, Rizki Handayani, menyebutkan bahwa sektor ekonomi kreatif–seperti kuliner–memiliki banyak produk, namun tak punya mekanisme upskilling untuk memenuhi kebutuhan standar di pasar seperti hotel berbintang. “Kita tahu ada barang bagus tapi kuantitinya tidak bisa nah ini perlu kita atur dan bisa masuk ke indutri pariwisata sehingga bisa banyak terserap,” ujarnya (11/11).
Menurut Rizki, program Kenarok telah menyasar 10 kota mulai dari Batam, Bandung, hingga Balikpapan dan Lombok. “Perlu ada perbaikan supplier dan permintaannya. Kami juga ngobrol dengan perhotelan dan teman-teman fotografi, setelah ini kita berkolaborasi membantu melatih UMKM karena penting sekali menyiapkan promosi marketing untuk foto,” katanya.