Kepala LKPP: Baru 34,5% UMKM yang Terlibat PBJP
PBJP sering jadi titik kritik soal korupsi UMKM.
Jakarta, FORTUNE – Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Hendrar Prihadi, menyampaikan bahwa baru 34,5 persen pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) hingga akhir 2022. Padahal, Presiden menargetkan 40 persen UMKM yang bisa terlibat.
Potensi transaksi belanja yang tercatat di Rencana Umum Pengadaan (RUP) mencapai Rp410 trilun, 78 persennya merupakan Produk Dalam Negeri (PDN).
"Peningkatan yang terhitung spektakuler adalah pada produk tayang di katalog elektronik yang tercatat mencapai 2,4 juta produk di akhir tahun 2022, setelah sebelumnya hanya terdapat sekitar 52.000 produk di awal tahun 2022,” kata Hendi, Kamis (5/1).
Pemerintah menargetkan jumlah produk yang tayang di katalog elektronik bisa mencapai 5 juta produk sampai akhir 2023 nanti. Hal ini dilakukan dengan menambahkan beberapa pekerjaan konstruksi.
Urgensi RUU PBJP
Guna mendukung UMKM dan Koperasi, Hendi mengungkapkan urgensi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Barang dan Jasa Publik untuk disahkan menjadi Undang-undang. “LKPP berupaya mendorong perbaikan dan peningkatan kualitas produk dalam negeri,” katanya.
Urgensi penyusunan RUU ini mencakup dukungan pada proses pengambilan kebijakan berbasis data, menciptakan satu pasar nasional yang efisien dan efektif, serta memastikan peningkatan transparansi dan efektivitas belanja pemerintah melalui tata kelola yang baik.
Selain itu, mendorong belanja pemerintah dan pengembangan industri dalam negeri, mendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, dan pergeseran dari otomisasi menjadi digitalisasi.
Titik rawan korupsi
Terkait akuntabilitas dan transparansi PBJP, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, mengatakan salah satu titik rawan korupsi tertinggi ada pada indikator PBJP di instansi dan lembaga. Hal ini juga sejalan dengan data penindakan perkara yang ditangani KPK.
“Kita buat sistem pengadaan barang/jasa secara nasional, yang berisi data detail perusahaan, pelaku PBJ, sistem pembayaran, hingga berita acara penyerahan barang agar seluruh prosesnya transparan,” ujarnya.
Perlu integrasi data
Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP, Setya Budi Arijanta, menambahkan diperlukan integrasi data sejak tahap perencanaan hingga serah terima pekerjaan pengadaan. LKPP berusaha membangun sistem, namun belum banyak data yang ‘mengalir’.
Menurutnya, banyak transaksi yang terjadi di luar sistem, sehingga memicu Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di lapangan. Transaksi tersebut tak dapat dimonitor, karena terjadi di luar sistem.