Konsumen Real Estat Komersial APAC Ingin Properti Bersertifikasi Hijau
Bangunan bersertifikat hijau kini jadi kriteria minimum.
Jakarta, FORTUNE – Riset perusahaan konsultan real estat global, JLL, menunjukkan bahwa 87 persen konsumen real estat komersial di Asia Pasifik (APAC) ingin portofolio yang berSertifikasi hijau pada 2030.
Head of ESG Research JLL untuk Asia Pasifik, Kamya Miglani, mengatakan bahwa bangunan bersertifikat hijau merupakan kriteria minimum bagi sebagian besar penyewa di Asia Pasifik. “Semakin banyak perusahaan yang mengadopsi strategi keberlanjutan seperti audit energi, penataan ruangan yang berkelanjutan, dan penyewaan hijau untuk mewujudkan tempat kerja yang berkelanjutan,” katanya dalam keterangan yang diterima Fortune Indonesia, Jumat (19/4).
Menurutnya, hal ini akan terus berlanjut di masa depan. “Para penyewa mungkin akan menaikkan standar dan mulai meminta data kinerja bangunan dan keberlanjutan terlebih dulu daripada sertifikasi bangunan hijau untuk memastikan bahwa aset-aset ini sudah sesuai dengan tujuan NZC (Net Zero Carbon) mereka,” kata Miglani.
Namun, bangunan di kawasan Asia Pasifik maish menghadapi tantangan berupa ruang rendah karbon yang sedang dikembangkan masih terbatas hanya 2 square foot (sq.ft)–sekitar 0,19 meter persegi–untuk setiap 0,46 meter persegi yang dibutuhkan pada tahun ini hingga 2028.
Belum sejalan
Menurut riset ini, transisi ke energi terbarukan akan menjadi langkah penting bagi industri Properti untuk mendefinisikan kembali dan mengubah bangunan dari konsumen energi pasif menjadi kontributor aktif dengan menghasilkan energi terbarukan untuk kebutuhan sendiri. Dengan demikian, kolaborasi antara pemilik properti dan penghuni akan sangat penting dalam memenuhi tuntutan bangunan berkelanjutan.
Sebanyak 74 persen responden mengharapkan setengah dari kebutuhan energi mereka di masa depan, akan terpenuhi oleh energi terbarukan. Angka ini naik dari 9 persen yang jadi hasil saat ini. Sementara, pengembang biasanya hanya fokus pada jejak karbon yang terkandung dari konstruksi bangunan, sehingga dampak rancang bangun interior sering diabaikan.
Padahal, rancang bangun menyumbang sekitar sepertiga dari emisi, terutama karena rata-rata kantor mengalami perubahan interior setidaknya 20 kali dalam siklusnya. Saat ini, 65 persen penghuni yang disurvei menyebutkan investasi yang diperlukan untuk fit-out kantor sebagai salah satu tantangan keberlanjutan terbesar mereka.
Miglani menyebutkan bahwa kurangnya perhatian menyangkut emisi dalam rancang bangun interior disebabkan oleh pemisahan tradisional antara tim yang bertanggung jawab atas pengembangan bangunan dan rancang bangun interior. "Membongkar silos yang telah terbentuk adalah kunci untuk bertransisi menuju nol limbah dalam fase desain hingga pengadaan dan penggantian,” katanya.
Kondisi di Indonesia
Sejalan dengan hasil riset, Senior Sustainability Manager JLL Indonesia, Prisca Winata, mengatakan bahwa permintaan akan properti ramah lingkungan di Indonesia terus meningkat. “Pada kuartal keempat tahun 2023, 54 persen bangunan grade A di Jakarta sudah bersertifikat hijau,” katanya.
Menurutnya, saat ini yang menjadi prioritas untuk memenuhi permintaan pasar adalah mengubah bangunan lama yang tidak berkelanjutan. Hal ini juga dinilainya bisa melindungi nilai properti dari penurunan di masa depan.
“Berbagai perusahaan juga telah mengadopsi strategi keberlanjutan dan memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan untuk melakukan pemantauan data lingkungan. Nantinya, mendapatkan aset yang sustainable akan menjadi sangat kompetitif, dan kerjasama antara pemilik properti dan penghuni sangat penting dalam mencapai tujuan keberlanjutan,” ujar Prisca.