Strategi Maskapai Baru Hadapi Tantangan Industri Penerbangan Tanah Air
Fleksibilitas dan kreativitas melihat peluang jadi kunci.
Jakarta, FORTUNE – Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah Maskapai baru bermunculan di Industri Penerbangan Indonesia, seperti Pelita Air, Super Air Jet, atau yang terbaru adalah BBN Airlines Indonesia. Di tengah berbagai peluang dan tantangan industri, sejumlah maskapai baru ini menyiapkan berbagai strategi yang mendukung bisnisnya.
Chairman BBN Airlines Indonesia, Martynas Grigas, memgatakan salah satu tantangan yang dihadapi industri maskapai penerbangan ialah tingginya harga tiket pesawat akibat banyaknya variabel biaya pembentuk harga.
“Dalam [penentuan] harga ada banyak variabel biaya, salah satunya bahan bakar. Jadi, bahan bakar di Indonesia bukanlah yang termurah, jujur saja. Kemudian, pajak impor untuk suku cadang juga cukup berat. Itulah yang menyebabkan biaya [tiket] jadi sangat tinggi,” ujar Grigas seperti dikutip dari Majalah Fortune Indonesia edisi Desember 2024, Selasa (31/12).
Dengan level harga yang kurang bersaing tersebut, butuh pengelolaan biaya yang tepat sebagai solusi. Misalnya, dengan menempatkan perusahaan induk berkantor di Singapura, untuk mengelolala tiga perusahaan di tiga negara Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Filipina).
“Tentu saja, semua hal terkait regulasi harus diikuti. Tetapi, hal-hal seperti rantai pasok atau manajemen komersial harus kami kelola secara terpusat, sehingga kami dapat bersaing dalam harga. Seperti yang kita tahu, bahan bakar adalah bagian terbesar dalam situasi ini,” ujar pimpinan maskapai yang pertama kali mengudara di akhir September 2024 ini.
Perusahaan menilai, Indonesia adalah pasar potensial dengan populasi terbesar keempat dunia, yang memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar di kawasan Asia Tenggara. Karenanya, negeri ini merupakan bagian penting dalam membuka ekspansi bisnis utama Avia Solutions Group (ASG)—holding BBN Airlines Indonesia—yang berfokus pada wet lease atau ACMI (aircraft, crew, maintenance, insurance).
“Kami masuk Indonesia bukan untuk bersaing di pasar penerbangan reguler, melainkan untuk melengkapi pasar dengan kapasitas yang menjadi penawaran utama kami,” ujar Grigas. “Saat ini banyak pihak yang membutuhkan pesawat, tetapi sangat sedikit cara untuk mendapatkannya. Dengan membawa model bisnis wet lease, bisa saja sebuah maskapai lokal Indonesia terbang dengan pesawat kami.”
Menyasar kelas yang belum terlayani
Terkait mahalnya harga avtur di Indonesia, Direktur Utama PT Pelita Air Service, Dendy Kurniawan, mengatakan konsumen acap kali alpa menimbang berbagai variabel pembentuk harga sehingga harga tiket menjadi tinggi. Contohnya, airport tax, yang telah dipungut langsung oleh maskapai penerbangan, melainkan disertakan ke dalam harga tiket.
"Misalnya, harga tiket Rp700.000 sudah termasuk airport tax sebesar Rp168.720—berlaku flat di Terminal 3 bandara Soetta—dan PPN 11 persen. Jadi, lebih dari 30 persen harga tiket itu sebenarnya bukan margin maskapai," kata Dendy kepada Fortune Indonesia (25/10), yang meneruskan bahwa margin itu hanya berkisar 5-6 persen. “Kami [bisa] jual harga tiket tinggi, tapi nanti enggak ada yang mau beli.”
Dalam menerapkan strategi bisnis, Dendy memilih untuk mengambil peluang pasar yang belum terlayani di pasar menengah, sejak Pelita Air pertama beroperasi secara komersil di tahun 2021.
“Kami menjadi pilihan baru bagi masyarakat. Gap antara maskapai full service dan low-cost tadinya terlalu besar, beda harganya sangat jauh. Nah, sekarang kami masuk di tengah-tengah, di mana service kami sedikit di bawah full service, tapi juga tidak seminim low-cost,” katanya.
Pelita Air membidik kaum milenial yang mapan, yakni bagian dari generasi milenial yang telah memiliki daya beli mumpuni sebagai target pasarnya. Selain itu, Pelita Air juga menargetkan kelompok umur yang lebih dekat dengan teknologi dan mudah beradaptasi dengan berbagai inovasi digital. “Ini berpengaruh ke cara kami menjual tiket, yakni melalui kanal-kanal online travel agent (OTA), seperti Traveloka atau Tiket.com,” ujarnya.
Strategi ini memungkinkan Pelita Air memberikan pelayanan lebih baik, sederhana, cepat, dan bisa selalu terbang tepat waktu. Menurut data Kemenhub, Pelita Air pun menjadi maskapai dengan tingkat on-time performance (OTP) tertinggi di antara maskapai penerbangan berjadwal lain pada 2022 dan 2023, masing-masing 95,59 persen dan 90,30 persen.
Prospek baik
Plt Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Lukman F. Laisa, mengungkapkan bahwa prospek transportasi pesawat di Indonesia cukup positif dengan jumlah penumpang yang mulai mengalami kenaikan signifikan sejak pandemi Covid-19 pada 2020.
”Prospek bisnis penerbangan di Indonesia tetap menjanjikan adanya peluang pertumbuhan yang dapat dimanfaatkan oleh badan usaha angkutan udara untuk terus berinovasi dan beradaptasi dengan kondisi pasar agar tetap kompetitif dan berkembang,” ujar Lukman.
Meski tantangan masih membelit, Lukman mendorong para pemain baru bisnis penerbangan berjadwal untuk bisa mengambil peluang lewat inovasi, diferensiasi, serta memilih pasar yang belum terlayani, terutama dalam hal rute dan karakteristik penumpang.