Manfaatkan Ekosistem Digital, Fuse Dorong Literasi Asuransi Indonesia
Perlu peran teknologi untuk mentransformasi sektor asuransi.
Jakarta, FORTUNE - Meskipun banyak perusahaan asuransi telah berdiri di Indonesia, dan upaya untuk mendorong akses dan literasi asuransi telah meningkat, penetrasi asuransi masih dangkal. Rendahnya penetrasi pasar asuransi menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan bagi industri asuransi. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, penetrasi asuransi di Indonesia hanya 3,18 persen, atau tidak pernah melampaui 4 persen selama satu dekade. Beberapa alasan berkontribusi pada kondisi ini.
Ada beberapa faktor di balik rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia. Pertama, agen umumnya menawarkan produk dari satu perusahaan asuransi, karena mereka mendapatkan lisensi dari perusahaan tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan agen yang mendorong merek asuransi tempat mereka bekerja daripada menemukan produk terbaik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Kedua, kebanyakan produk asuransi didesain dengan cicilan premi yang relatif tinggi, sehingga tidak semua orang mampu membelinya. Adapun densitas asuransi, sebuah ukuran rata-rata pengeluaran masyarakat untuk produk asuransi dalam satu tahun adalah Rp1,73 juta (US$ 110,16) per tahun pada 2021.
Menurut survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019, literasi asuransi hanya sebesar 19,4 persen, lebih kecil dibandingkan indeks literasi keuangan sebesar 38,03 persen. Masyarakat juga tidak diwajibkan untuk memiliki produk asuransi, karena mereka masih mengandalkan asuransi informal seperti jaringan keluarga, dan masih kurang berpengetahuan akan potensi risiko di masa depan.
Hal ini menjadi landasan bagi Andy Yeung untuk menghadirkan teknologi guna mentransformasi sektor asuransi. Dengan pengalaman di bidang teknologi di berbagai negara, seperti di Hong Kong, Tiongkok, dan Asia Tenggara (ASEAN), ia sangat percaya bahwa Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi Tiongkok berikutnya. Andy kemudian mendirikan Fuse pada 2017.
Meramu strategi
Awalnya, platform aplikasi mobile Fuse ditawarkan sebagai Software as a Service (SaaS) untuk perusahaan asuransi. Namun sayangnya, tingkat adopsinya jauh lebih rendah, hanya 1,5 persen dari yang diharapkan.
Andy mulai mengubah platform SaaS ke bisnis mitra agen/broker. Setelah beberapa upaya untuk menemukan partner usaha lokal yang tepat, dia akhirnya memutuskan untuk menjajaki segala potensi merger dan akuisisi (M&A).
Pada pertengahan 2017, Andy bertemu dengan Ivan Sunandar, pendiri Cekpremi.com, situs agregator asuransi terkemuka. Dengan visi yang sama bahwa teknologi dapat mengubah cara kerja asuransi, Ivan memutuskan untuk bergabung dengan Fuse sebagai co-Founder & COO di Fuse. Adapun, Cekpremi.com menyelesaikan M&A dengan Fuse di awal tahun 2018.
Sejak saat itu, Fuse telah menjadi platform teknologi yang memungkinkan agen dan partner menawarkan berbagai produk asuransi dari berbagai perusahaan asuransi. East Ventures pun mendukung Fuse melalui pendanaan sejak pertengahan 2019.
Model bisnis B2B2C
Pada model B2B2C, Fuse menawarkan produk asuransi mikro di platform e-commerce, dengan harga yang terjangkau. Produk yang ditawarkan, di antaranya perlindungan layar retak, perlindungan gadget dan elektronik, kewajiban kargo, kewajiban produk, asuransi barang berkualitas, dan sebagainya.
Produk asuransi mikro dan harga yang terjangkau diharapkan dapat mengedukasi nasabah tentang asuransi secara tidak langsung.
Mengingat literasi asuransi yang masih rendah, agen asuransi tetap berperan penting dalam mengedukasi nasabah. Oleh karena itu, Fuse juga meningkatkan kemampuan agen dalam mempromosikan produk asuransi kepada nasabah.
Dengan demikian, agen asuransi dapat memberikan saran dan rekomendasi yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan sehingga mendapatkan kepercayaan yang lebih dari nasabah. Selain itu, platform Fuse dapat meningkatkan keterampilan digital agen. Saat ini, Fuse memiliki lebih dari 80.000 agen di 24 kota di Indonesia.
Mengoptimalkan teknologi
Dari sisi teknologi, Fuse menghasilkan teknologi untuk mengoptimalkan proses aplikasi asuransi secara efisien. Dengan API, proses aplikasi dapat dilakukan secara real time dan dilakukan dalam beberapa jam, dibandingkan dengan cara konvensional yang memakan waktu dua minggu.
Berkaca pada infrastruktur TIK, hampir semua provinsi mengalami peningkatan infrastruktur TIK. EV-DCI 2022 menunjukkan angka median infrastruktur digital meningkat dari 54,3 pada 2021 menjadi 64,8 pada 2022. Data ini mencerminkan kondisi infrastruktur digital di Indonesia yang semakin merata.
Solusi tersebut menjadi gambaran bagaimana berbagai aspek bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing digital di seluruh negeri. Namun, permasalahan dan solusi harus diselesaikan bersama antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat agar penetrasi dan literasi asuransi meningkat.
“Dengan meningkatkan produk asuransi yang mudah dipahami, bermanfaat dan terjangkau, serta cara distribusi asuransi yang hemat biaya, kami sangat yakin penetrasi dan literasi asuransi pada akhirnya akan meningkat, sehingga semakin banyak masyarakat Indonesia yang dapat memiliki perlindungan asuransi”, ujar Andy.
Dengan memanfaatkan teknologi, Fuse juga membuat proses dealing lebih efisien. Proses yang memakan waktu dua minggu dengan metode konvensional, dapat diproses dalam beberapa jam melalui API. Fuse juga memanfaatkan infrastruktur teknologi untuk memudahkan proses transaksi dan closing antara agen dan pelanggan.
Berdasarkan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2022, infrastruktur TIK menjadi fondasi yang akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
Dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, distribusi skor pada sub-indeks TIK lebih merata, yang menunjukkan peningkatan akses infrastruktur digital di 34 provinsi di Indonesia. Ini menjadi peluang bagi Fuse untuk memanfaatkan platform dan agen mereka untuk menjangkau penetrasi asuransi yang lebih luas di tanah air.
Dengan mengintegrasikan produk asuransi langsung ke platform penjual seperti Tokopedia dan saluran digital lainnya, Fuse juga membantu membuka akses keuangan kepada pelanggan dan membawa manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan.
Andy mengatakan, salah satu alasan penetrasi yang sangat rendah adalah tingkat pendidikan, yang lainnya adalah kompleksitas produk. “Jadi kalau kita bisa mendistribusikan produk yang mudah dipahami, sangat menguntungkan, dan juga terjangkau, maka kita bisa meningkatkan penetrasi dan literasi asuransi, sekaligus membuat prosesnya lebih efisien bagi para agen di Indonesia,” ujarnya.